BMHP-- 1

666 115 101
                                    

"Ibram"

Lelaki yang baru memasuki kafe itu menoleh ke asal suara, ia menggenggam tangan gadis di sampingnya dan menarik gadis berhijab panjang itu untuk berjalan menuju gadis yang tadi memanggilnya. Gadis itu melebarkan senyumnya dan mempersilahkan Ibram dan juga gadis disampingnya untuk duduk.

"Jadi ada keperluan apa ya Ra?" tanya Ibram terlalu to the point. Gadis yang dipanggil Ra itu kikuk sejenak, lalu menatap kearah gadis yang Ibram bawa tadi. "Aku mau ngomong berdua aja bisa?" tanya Aura, Ibram menggeleng dengan tegas sedang gadis disamping Ibram tampak mengernyitkan dahi penasaran.

"Enggak baik hanya berdua, makanya saya bawa adik saya untuk ikut" jelas Ibram, Aura tersenyum tipis dan maklum, ia menyelipkan rambutnya kebelakang telinga. "Sebenarnya--"

Ucapan Aura terhenti saat gadis yang diketahui sebagai adik Ibram itu berdiri, "Aku ke toilet sebentar ya bang ,kak." Ibram mengernyit tidak suka. "Put!" peringat Ibram, Gadis berhijab panjang itu kemudian mendorong kursinya demi memperlebar jalannya. "Rame kok bang, kalian enggak berdua. Aku cuma sebentar" ujar Putri, lalu menuju toilet.

"Jadi gimana Ra?" Tagih Ibram yang tampak sekali tidak ingin berlama-lama dengan Aura. Aura meringis sesaat ketika menyadari hal tersebut. "Kamu enggak mau pesan minum dulu?" tanya Aura menawarkan, Ibram menghela nafasnya dan menggeleng. "Cepetan, ada apa? Saya masih ada urusan lain"

Aura mengangguk, lalu mengambil nafas banyak-banyak. "Eum, kamu udah punya pasangan belum Bram?" pertanyaan Aura mendapat tatapan aneh dari Ibram, kernyitan dahi pria yang beranjak dewasa itu sangat dalam. Mencerna maksud dan tujuan dari pertanyaan teman sekelas semasa SMAnya itu.

"Enggak ada" jawab Ibram singkat, tidak ingin menjelaskan panjang lebar mengapa ia tidak memiliki kekasih atau menceramahi gadis dihadapannya perihal hukum berpacaran dalam islam. Padahal, hal tersebut sudah pasti ia lakukan jika yang bertanya adalah orang lain, selain Aura.

"Kenapa?" tanya Aura, Ibram mengalihkan pandangannya dari Aura, tidak baik menatap perempuan yang bukan mahram terlalu lama. Sebenarnya, dari dulu Ibram selalu menghindar untuk berinteraksi dengan Aura karena Aura biang masalah. Benar-benar biang masalahnya ketika SMA, Ibram bahkan mempunyai tugas khusus dari guru BK untuk mengawasi Aura. Dan menurutnya, itu sangat membuang waktu Ibram. Makanya Ibram agak kurang ramah terhadap Aura.

"Langsung ke intinya bisa?" tanya Ibram dengan nada tak bersahabat, Aura menggigit bibir bawahnya.

"Ibram kan belum punya pasangan-" ucap Aura, masih mengumpulkan keberanian dirinya. "Ibram mau enggak jadi suami Aura?"

Demi apapun, Aura rasanya ingin menenggelamkan dirinya saja. Terlebih saat mendengar dengusan geli dan kekehan sinis Ibram. Aura menatap Ibram dengan wajah polosnya, menanti jawaban dari lelaki yang ia inginkan untuk menjadi suaminya.

Bukan karena cinta, tapi karena Aura butuh sosok pemimpin di hidupnya. Dan entah karena hal apa, Aura malah teringat dengan sosok Ibram, ketua osis SMA nya dulu. Setelah tiga tahun tidak bertemu, tadi malam Aura mencoba mencari kontak Ibram. Bertanya ke teman-teman lamanya, dan ketika berhasil menemukan kontaknya, tanpa ragu Aura mengirimi Ibram sebuah pesan ajakan untuk bertemu.

Awalnya, Ibram menolak. Namun dengan berbagai macam permohonan Aura, akhirnya Ibram menyetujui untuk bertemu sebentar.

Aura tersentak dalam lamunannya ketika Ibram mendorong kursinya ke belakang dan berdiri dari duduknya. Gadis dengan rambut panjang sebahu itu masih menggigit bibirnya. Kali ini bukan menahan gugup, tapi tangis.

"Pulang gih Ra, kamu kacau banget" ujar Ibram, lalu menggendong tasnya dan berjalan keluar. Memilih untuk menunggu sang adik diluar kafe saja. Ibram tersentak saat tangannya ditahan Aura, ia kemudian menarik tangannya agar tidak disentuh oleh lawan jenis.

BE MY HUSBAND PLEASETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang