3.

19 4 0
                                    

Setelah mengumpulkan piring piring bekas di meja makan untuk di cuci, Warni atau Luna mulai siap untuk membersihkannya.

"Warni, kamu mau ngapain??" Tanya Santi saat wanita itu memasuki area dapur.

Warni hanya memberikan cengirannya. "Cuci piring bu."

"Biar saya aja sini, kamu sama Bi Iyum makan malam dulu aja sana, ya."

Warni menghentikan tangan Santi yang akan mengambil spons pencuci piring. "Eh jangan bu. Saya gampang, nanti saya makan kok. Yang penting dapur bersih dulu."

"Kamu dari siang belum makan, Warni. Ayo makan dulu, ini biar saya aja."

Lagi lagi Warni menggeleng. "Enggak bu, masa majikannya yang cuci piring. Saya gapapa, Bu Santi istirahat aja."

"Warni, saya gak pernah anggap kamu dan Bi Iyum sebagai pembantu disini. Saya anggap kalian seperti keluarga. Jadi gak akan membedakan apapun kalau saya atau kamu yang mencuci piring. Saya ini bukan majikan kamu, anggap saja saya seperti ibu kamu."

Warni menatap lekat lensa mata Santi. Ucapan wanita di hadapannya benar benar mengingatkan pada mamahnya. Luna merindukan Mamahnya.

"Kamu makan ya. Kalau kamu tetep mau yang cuci piringnya, silahkan. Tapi kamu makan dulu Warni." Ucap Santi sambil mengusap bahu Luna.

"Baik bu, saya makan dulu ya bu."

"Iya Warni."

Santi menatap sendu tubuh Warni yang berjalan menjauh darinya. Mungkin jika putrinya masih hidup, dia pasti sudah sebesar Warni.

"Sayang, mamah akan anggap Warni adalah kamu. Mamah akan melepas rasa rindu ini, kepada gadis seusia kamu itu." Ucap Santi pelan.

***

Hari kedua ia bekerja di rumah besar Gifari. Senyum miring, tersungging di bibir mungil seorang Luna Sarasvati.

Dirinya memang sudah tidak di butuhkan oleh ayahnya. Lihat saja, sampai pagi ini pun tak ada tanda tanda mereka mencarinya. Good, rencana wanita jahat itu untuk menyingkirkannya, telah berhasil. Tapi, kita lihat saja. Besok, lusa, pekan, dan seterusnya.

"Good Morning, Bi Iyum!!" Sapa Luna sesampainya ia di dapur.

"Morning neng Warni."

"Bi Iyum bangun jam berapa?? Kok jam segini belanjaan udah siap sedia??"

Bi Iyum tertawa. "Belom lama neng, ini si belanjaan kemarin. Kemarin Bibi belanja banyak sekalian, biar sekarang gak kepasar lagi."

"Owh, Warni kira bibi bangun pagi buat ke pasar. Emm besok kalo bibi ke pasar, Warni ikut ya. Biar bisa belanja juga."

"Ashiaapp"

"Oh iya, mana nih yang perlu Warni bantuin??"

Bi Iyum memberikan 2 ikat kangkung. "Nih, pritilin kangkungnya kecil kecil. Pagi ini kita masak kangkung sama tempe goreng. Neng Warni teh bisa kan, goreng tempe?? Kalo enggak, ntar bibi wae yang goreng."

"Eh jangan jangan, Warni aja bi yang goreng ntar. Goreng tempe mah" Warni menjentikan jempolnya. "Gancil!!"

"Mantulll"

Sembari memotong tiap batang kangkung, Warni mendekatkan diri ke Bi Iyum. "Bi, emang pak Daniel suka masakan kangkung??" Bisik Warni sambil melihat ke berbagai arah, takut takut yang di bicarakan datang.

"Ih ini paporitnya mas Daniel, neng." Jawab Bi Iyum semangat.

"Iya bi?? Warni kira, pak Daniel sukanya masakan kaya ayam goreng, sapi panggang, ya intinya yang berbau bau mahal gitu."

Bi Iyum mendekatkan bibirnya ke telinga Warni. "Mas Daniel sama mas Dilan malah gak doyan masakan kaya gitu. Dulu nih bibi masakin rendang sapi, gak ada yang makan. Akhirnya bibi kasih tetangga aja. Tapi kalo bibi masakin tempe orek sama sayur sop, ludes neng! Keren gak tuh."

Keluarga yang unik. Biasanya, orang orang berpangkat tinggi seperti keluarga Gifari, akan menyukai masakan ala ala eropa, tapi keluarga ini malah lebih suka masakan ibu ibu jawa.

"Malah gak ribet ya bi??"

Bi Iyum memberikan jempolnya. "Bener banget neng, makanya bibi demen masakin buat mas Daniel sama mas Dilan. Abis terus."

Warni memotong kangkung sambil mendengarkan tiap ocehan lucu Bi Iyum, ternyata menjadi pembantu tak sesulit yang ia pikirkan. Tapi itu semua tergantung  dari majikan sihh, kalau majikannya kaya Bu Santi pasti adem. Coba kalau majikannya kaya Author, pasti di siksa terus. Gak deng, canda siksa...

***

Waktu sudah menunjukan angka 07.50 dan keluarga Gifari pun baru saja selesai dengan sarapan mereka.

Bi Iyum dan Bu Santi membereskan piring sisa makanan di dapur, dan Warni membereskan meja makan.

"Lo pembantu baru ya?? Ambilin gue minum dong, aus nih."

Warni memberhentikan aksi mengelap meja, dan memperhatikan wanita yang sedang duduk di dekat kursi meja makan. Siapa wanita itu?? Kapan datangnya??

"Lo ngapain ngliatin gue?? Cepet ambilin gue minum!"

Wanita gila, datang seperti jelangkung, tiba tiba sudah menyuruhnya. "Ambil aja sendiri."

"Heh, gak sopan banget sih. Gue nyuruh lo karna lo pembantu, eh lo malah nyuruh gue ambil sendiri."

Warni menatap sinis, wanita berpakaian kurang bahan itu. "Situ gak liat, gue juga lagi beberes. Situ juga gak sopan, dateng dateng langsung nyuruh."

"Gak punya sopan lo ya, Gue pacarnya Daniel, majikan lo! Jadi lo harus nurut juga apa kata gue!"

Warni menyelampirkan lap di bahunya. "Gue pembantunya Pak Daniel, pacar lo. Jadi seterah gue lah mau nurut apa enggak."

Wanita bernama Innes itu memutar bola matanya. "Pembantu aja bangga."

"Pacar aja bangga" Sindir Warni tak kalah sinis.

Innes menunjukan jari telunjuknya di depan wajah Warni. "Lo ngikutin gue terus dari tadi ya! Dasar cewe plagiat!"

"Lo juga--"

Ucapan Warni terhenti kala mendengar derap langkah seseorang. "Ada apa sih ribut ribut??"

"Sayang, itu pembantu baru kamu ya. Ih dia ngeselin banget. Aku gak suka." Ucap Innes dengan bergelayutan manja di lengan besar Daniel.

"Kalo lo suka sama gue, berarti lo gay dong." Cibir Warni pelan.

Mendengar aduan manja dari sang kekasih, Daniel langsung menatap tajam Warni yang tengah menggosok gosokan lap di meja makan. "Gak usah caper. Inget, cuma pembantu."

Warni pura pura tak mendengar ucapan pedas yang di lontarkan Daniel untuknya. Menurutnya, Ucapan Daniel yang pedas itu tak seberapa dengan ucapan ayahnya saat sedang membela nenek lampir jelek itu. Jadi Warni tak langsung sakit hati. Tenang, Luna masih kebal.

Setelah melontarkan kata kata sedikit namun nylekit, Daniel dan wanita kurang bahan itu pergi meninggalkan rumah keluarga Gifari.

Huftt ... Warni membuang nafas, untung saja bibirnya masih berkompromi untuk tidak mengatai Innes dengan kata kata kotornya. Dirinya belum siap di pecat Daniel karna ucapannya.

"Dilan nya ada??"

Mata Warni menatap pria berstelan casual. Sepertinya pria ini anak kampusan, terdengar ia mencari Dilan.

"A-ada kok. Sebentar ya, saya panggil dulu."

"Gak usah, gue udah disini."

Belum sempat Warni melangkahkan kaki, Pria yang sedang di cari sudah memunculkan batang hidungnya.

"Yok" ajak Dilan pada temannya.

Warni membalas senyum teman Dilan, saat pria itu melempar senyum ke arahnya. Satu kata TAMPAN.

Wih siapa tuh yang TAMPAN
1041 kata untuk part ini😘
Minggu, 13 Desember 2020

JANGAN LUPA VOTE!!

Jumpa (New Journal)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang