EIGHT

3K 443 24
                                    

04 januari 2021

***

Mana kala senja tiba, Jaehyun pernah berkhayal sebatas melintas dipikiran. Bahwa ia akan menikmati langit yang menguning jingga di atas sana bersama sang anak dan orang yang ia cintai. Berandai-andai setidaknya jika ia memiliki salah satu diantaranya. Namun, tak pernah ia merasakan segelisah ini kala mendapati kenyataan bahwa Mark telah menolak uluran tangannya. Kecewa dirasa, kecutnya perasaan tertolak baru kali pertama ia cicipi. Sungguh hal itu tak pernah ia ingini.

Jaehyun termenung penuh ragu. Banyak hal telah terencana dengan baik, tapi tak satu pun ia yakini akan mampu membawa Mark kembali dan menerima uluran tangannya. Setidaknya kalimat Taeyong tempo hari memberi hiburan semata dan mengikis ragunya, walau hanya sedikit.

Jaehyun acap kali mendapati dirinya menangis seorang diri beberapa hari terakhir. Bukan karena ia menangisi nasib yang menimpa rumah tangganya kali ini. Jaehyun senang ia mampu bertindak tegas. Tetapi ada hal yang paling mengganggu dalam hidupnya. Rasa rindu dan kekosongan yang teramat menekan batinnya. Sebab anak semata wayangnya tak menoleh padanya, tak memberi tegur sapa bahkan hanya untuk bertukar ucapan selamat pagi atau malam melalui sambungan telepon.

Pernah ia bertanya kepada Taeyong. Taeyong mengatakan hal yang sebenarnya tak ingin ia ketahui. Kenyataan bahwa Mark trauma dengan Marlene dan juga takut kepada dirinya adalah suatu hal yang menampar wajah Jaehyun dengan telak. Torehan luka tak kasat mata seolah membentang di wajahnya.

Jaehyun tak mampu mengucap walau hanya sepenggal kata. Bayangan manisnya pertemuan antar anak dan ayah pupus dalam sekejap mata. Torehan luka yang dialami oleh putranya jelas jauh lebih besar dari pada dirinya. Jaehyun harusnya mengenal kata syukurㅡ bersyukur bahwa setidaknya Mark menyampaikan salam meski melalui Taeyong.

Sesak menerjang dada hingga sakitnya terasa berkali lipat menekan. Terbatuk menahan sesak dan emosi secara bersamaan. Jaehyun mengepal tangan memukul dadanya. Air mata jatuh bak air terjun, tumpah ruah tak bisa dihentikan.

Tangisan memilukan dalam kebisuan, hanya disaksikan oleh langit yang menuju gelap. Bulan yang perlahan menggantung bersama bintang-bintang, dan hembusan angin sejuk nan dingin di sore hari menuju petang.

"Markㅡ" parau suara terputus oleh tegukan ludah yang seolah tersangkut di tenggorokan. Jaehyun menekan dada yang mengulang denyutan sakit berkali-kali dari sebelumnya.

"Ayahㅡ rindu." Dua kata yang tak bisa tersampaikan secara langsung dalam bentuk lisan kepada putranya. Hanya angin yang mendengar, disaksikan gelapnya langit.

"Ayah rindu." Paraunya yang tercekat dengan menyedihkan, terdengar seperti bisikan.

Terkadang, melintas rasa sesal yang berusaha menguasai diri. Emosi sesaat dan keinginan mengakhiri hidup. Namun suatu waktu, pelukan hangat Taeyong memberinya kenyamanan. Mengangkat setidaknya sedikit beban.

"Aku akan mencoba mengajak Mark mengunjungimu." Belai hangat Taeyong seolah meninggalkan jejak di punggungnya. Suara menenangkannya terngiang seperti rekaman yang sengaja diputar ulang.

***

Jaehyun berdiri diam kala Marlene menghalangi jalannya. Bersimpuh dihadapannya dan memohon belas kasihnya. Sidang perceraian akan dimulai beberapa menit lagi, tapi wanita itu berusaha untuk diberi kesempatan.

"Kau tahu ini sudah sangat terlambat." Jaehyun membuang muka sombong. Tak ingin lagi mendengar apa pun yang terucap dari belah merah bibir Marlene. Sudah cukup ia dibohongi dan menderita karena sesal. Ia tak menginginkan lontaran kalimat Marlene yang hanya akan menambahkan beban.

Marlene bersimpuh penuh sesal, bahkan menjatuhkan kepala dan mencium ujung sepatunya. Namun Jaehyun tak lagi bisa memberi belas kasih untuk selebihnya. Mereka sudah berakhir.

Little Ones | JaeyongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang