Chapter 1

3K 199 2
                                    


"Selamat pagi. Selamat datang di Grand EB Hotel...." terdengar suara sapa ramah seorang pegawai front office.

Pagi ini beberapa tamu terlihat sudah mulai wara-wiri di lobi hotel. Ada yang baru check in ada juga yang mulai meninggalkan tempat persinggahan bintang 5 itu.

Di sana, di balik meja panjang berdiri 3 orang yang yang tersenyum ramah meladeni para tamu. Tapi salah satunya sedang berusaha tetap mempertahankan senyumannya walaupun tamu yang ada di hadapannya sekarang ini sedang komplain sambil marah-marah.

"... gimana sih! Katanya hotel bintang 5, kok bisa kerannya nggak nyala?! Saya udah komplain dari semalem, lho tapi nggak ada respon sama sekali!" Cecar seorang ibu paruh baya dengan roll rambut yang masih bertengger di kepalanya.

"Sekali lagi kami mohon maaf, Bu atas ketidak nyamanannya. Kami akan segera perbaiki kerusakannya." Ucap resepsionis itu.

"Saya nggak mau tau! Panggil manajer kalian sekarang! Apa-apaan hotel bintang 5 kok kayak gini!"

Si resepsionis masih setia meminta maaf dan berusaha menghubungi seseorang dengan gagang telepon yang menempel di telinganya.

Interaksi dua orang itu tak luput dari perhatian orang-orang di sekitarnya dan hampir menjadi bahan tontonan para tamu kalau saja seseorang tidak cepat datang.

"Eghem."

Semua orang menoleh ke asal suara. Para pegawai yang berada di balik meja resepsionis pun dibuat gemetar dengan kehadiran pria yang mengenakan setelan suit hitam di depan mereka.

"Ada yang bisa saya bantu, Bu?" Suara tegas nan ramah menggerayangi telinga karyawan yang berada di garda terdepan hotel ini.

"Kamu siapa? Saya mau ketemu sama manajer hotel ini!"

Dengan tenang pria itu menjawab, "saya yang bertanggung jawab di hotel ini. Apa ibu ada keluhan?"

Tanpa basa-basi lagi, tamu tersebut mengatakan keluhannya dari a sampai z, yang didengarkan dengan sabar oleh pria itu. Begitu si ibu selesai dengan keluhannya, pria itu tersenyum hangat dan memberikan solusi agar tamunya tidak merasa dirugikan. Selain pindah kamar, pria itu memberikan voucher body treatment sebagai complement. Masalah selesai.

Lagi-lagi pria itu menjadi pahlawan bagi Salma. Aiden Lanzo Bernardo. Pria yang sejak lama ia kagumi. Pria yang pernah menjadi pahlawannya dan aku selalu seperti itu.

"... my future." Batin Salma.

🍀🍀🍀🍀

Pulang kerja Salma tidak langsung pulang ke rumah. Ia ada janji dengan Freya, sahabatnya sejak SMA. Gadis cantik keturunan Italia itu bilang kalau dia sedang menunggunya di resto hotel. Freya juga bekerja di hotel milik keluarganya ini sebagai Manager food and Baferage.

"Sal!" Salma menangkap sebuah teriakan dan kode lambain tangan Freya yang sudah menunggunya.

Salma menghampiri Freya. Temannya itu sudah memesankan minuman untuknya yang datang tepat saat Salma baru mendaratkan bokongnya di kursi seberang Freya.

"Minuman sore untuk melepas penat setelah seharian bekerja." Ucap Freya dengan senyum lebar.

Salma menaikan sebelah alisnya, menatap secangkir teh dengan potongan lemon yang terapung di atasnya.

"Wow. Saya merasa tersanjung sekali atas jamuannya, Nona Muda. Saya yakin di resto ini ada minuman yang lebih mahal dari ini. Air putih, misalnya." Sindir Salma, yang langsung ditanggapi Freya dengan gelak tawa.

Bersahabat dengan anak konglomerat seperti Freya, merupakan anugrah dan rezeki yang selalu Salma syukuri. Sejak ayah Salma meninggal saat ia duduk di bangku SMA, Salma ingin membantu ibunya bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka. Apalagi waktu itu adik Salma masih kecil-kecil, jadi mau tak mau Salma harus bekerja. Sebenarnya kalau cuma untuk kebutuhan mereka saja, gaji sang ibu cukup untuk membiayai mereka, tapi Salma tidak tega jika ibunya bekerja keras sendirian. Akhirnya, dengan koneksi dari Freya, Salma bisa bekerja di salah satu kafe The Thristy. Kedai minuman yang sudah mulai berkembang, milik mamanya Freya.

Salma merasa beruntung sekali bisa mengenal keluarga Bernardo. Saat lulus SMA, Salma juga ditawari beasiswa oleh papanya Freya untuk meneruskan kuliahnya. Tapi dengan sopan Salma menolaknya. Ia tidak suka dikasihani, karena ia masih punya ibu yang juga bekerja sebagai guru TK. Ia bukan anak yang tidak memiliki orang tua sama sekali. Ia juga masih bisa ikut program beasiswa di kampusnya. Waktu itu Tante Kirana - mama Freya - kelihatan kecewa saat Salma menolak tawaran mereka. Tapi dengan senyum lebar Salma malah meminta bantuan yang lain.

"Kalau Salma lulus kuliah nanti, bolehkan Salma kerja di tempat Om Erick? Tapi tanpa tes. Itu juga termasuk membantu anak yatim kok, Om, Tante."

Itulah permintaan Salma pada Om Erick Bernardo dan Tante Kirana yang selalu baik pada keluarganya. Dan keluarga Bernardo menepati janjinya menerima Salma bekerja setelah gadis itu lulus kuliah dan resmi resign dari The Thristy, di hotel Grand EB, sebagai resepsionis lulusan S1 Akuntansi.

Freya sempat tak percaya Salma memilih bekerja sebagai resepsionis. Ia pikir Salma akan memilih posisi di accounting, atau posisi back office lainnya. Saat ditanya alasannya, jawaban Salma bikin Freya geleng-geleng kepala.

"Kalau gue di back office, belum tentu gue bisa liat Mas Aiden tiap hari."

Segitu sukanya Salma dengan kakak dari sahabatnya itu, sampai ia lebih memilih menjadi resepsionis agar bisa melihat Aiden Bernardo setiap hari yang sudah menempati posisi sebagai GM (General Manager) di hotel tersebut.

Lalu Freya menyarankan untuk mengambil posisi sekretaris atau asisten pribadi kakaknya saja. Tapi Salma lagi-lagi menolak keras dengan alasan, "kalo gue jadi sekretarisnya, yang ada gue malah nggak konsen kerjanya. Lo tau sendiri seberapa groginya gue kalo udah deket dia."

Okelah, terserah Salma saja.

Sebenarnya, perasaan yang Salma rasakan pada Aiden tidak hanya diketahui oleh Freya, tapi ternyata Grandpa Abraham juga menyadari hal itu. Kakek dari Freya dan Aiden yang kini sudah masuk usia awal delapan puluhan itu pun tahu saat Salma selalu melihat Aiden dengan tatapan mengagumi.

Dulu, waktu Salma sering belajar bersama di rumah Freya, ia juga sering diajak ngobrol santai oleh Grandpa Abraham. Salma memang sudah menganggap kakek temannya itu sebagai kakeknya sendiri, begitupun sebaliknya. Grandpa Abraham juga sering bercerita tentang kisah cintanya yang tentu saja membuat Salma terharu.

Dan dari cerita itulah muncul tekat Salma untuk memperjuangkan cintanya. Walaupun ia tidak tahu bagaimana caranya.

"Kamu boleh saja mengagumi seseorang, tapi kamu harus selalu ingat bahwa kamu punya tujuan hidup yang lebih dari sekedar itu." Ucap Grandpa.

Grandpa benar. Selama ini hidup Salma hanya berporos pada Aiden, Aiden, dan Aiden. Apa yang ia lakukan semuanya dengan alasan agar bisa dekat dengan Aiden. Hingga saat Aiden kuliah di luar negri dan Salma masih SMA, pelan-pelan pikiran tentang Aiden pun meredup seiring dengan jarangnya ia bertemu dengan lelaki itu.

Walaupun ia sangat mengagumi dan menyukai Aiden tapi ia juga harus realistis karena selama ini Aiden hanya menganggapnya tak lebih dari sahabat dari adiknya. Dari situ juga Salma tak menutup hati untuk teman laki-laki yang ingin dekat dengannya. Setidaknya, ia tak menjalin hubungan yang terlalu serius dan kebanyakan tidak bertahan lama.

Hingga sampai Aiden kembali ke Indonesia dan menempati jabatan sebagai GM Grand EB Hotel, perasaan Salma mulai tumbuh kembali. Dan ia tidak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk bisa meraih hati pujaan hatinya.

Dasar Salma.

🍓🍓🍓🍓

Tbc.

Mas Bos, I Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang