***
"Gimana nasib jemuran kita ya Rum?"
Suara Puput samar terdengar di antara deru mesin dan desau angin. Hawa dingin menusuk kulit dirasakan Arumi yang tidak memakai jaket. Ia lupa membawanya kemarin.
Hujan baru reda mendekati jam sembilan. Arumi dan Puput memang bersegera pamit pada ke dua bosnya, tanpa menunggu hujan benar-benar berhenti. Mereka sudah sangat tidak betah untuk cepat pulang dan membersihkan badan.
Jalanan tidak terlalu ramai. Mungkin orang-orang masih nyaman meringkuk di dalam selimut. Lagi pula ini hari minggu. Tapi, mana pernah jalanan besar kota ini sepi pengguna?
Biasanya, bunyi klakson yang bersahutan di simpang lampu merah, adalah musik khas pemekak telinga. Kali ini, tidak.
Sepertinya hujan dari semalam-lah penyebab orang-orang masih enggan ke luar rumah. Bahkan Arumi masih mendapati deraian halus gerimis jatuh mengembun di kaca helm. Dan menghirup udara segar tanpa banyak asap knalpot yang merasuki indera penciumannya
"Aku titipin ke mbak Ani kemarin."
Arumi mengeraskan suaranya agar Puput dapat mendengar dengan baik. Memakai helm juga memicu kurang jelasnya pendengaran saat berkendara roda dua. Kota ini sangat ketat. Kelengkapan berkendara harus selalu diperhatikan, jika tidak mau kena tilang.
"Emangnya si mbak tahu mana jemuran kamu?"
"Mbak Ani lihat waktu aku jemur sprei dan selimut."
"Punyaku dititipin juga?"
"Iya."
"Mbak-nya tahu punyaku?"
Arumi menggeleng. "Aku nggak tahu." Menghentikan motor karena lampu lalu lintas yang berubah merah, Arumi menoleh ke sisi kiri. "Aku cuma minta tolong ke mbak-nya, supaya angkatin semua jemuran yang nggak diangkat. Jadi harusnya aman kan?!"
"Hahaha ... Iya. Makasih ya Arum sayang. Kemarin aku lupa buat nitipin. Baru kepikiran juga tadi pas ada lihat jemuran di rumah orang."
"Mudah-mudahan aja Mbak Ani nggak lupa."
Keduanya terkekeh. Setelah lampu berubah hijau, Arumi segera melajukan maticnya dengan kecepatan sedang. Mereka tidak terburu-buru. Tinggal belok kiri di pertigaan depan, dan tidak sampai dua kilometer lagi mereka akan sampai di tempat kos.
"Besok kamu ikut kan, Put?"
"Kayaknya aku nggak diajak deh sama duo bos kita," jawab Puput dengan santai.
"Biasanya kan selalu bareng kamu."
"Ya jangan dibiasa-in." Puput terdiam beberapa saat. "Rum ... Kayaknya Mas Raka mau pedekate deh sama kamu."
"Ngawur!"
"Ya ... aneh aja. Mau ngikut adiknya jalan sama kamu. Aku yakin ada udang dibalik bakwan."
Arumi terkekeh pelan dengan asumsi sahabatnya itu. "Enak dong."
Tidak terasa mereka sudah memasuki gerbang kos yang telah terbuka, Arumi segera memarkirkan si matic di tempatnya. Tampak beberapa penghuni kos yang sedang atau baru mulai beraktifitas. Mereka saling bertegur sapa seperti hari biasa. Ada juga yang bertanya kenapa Arumi dan Puput baru terlihat sejak kemarin pagi. Hingga mereka memasuki kamar masing-masing lalu sibuk dengan urusannya.
Arumi meletakkan tas punggung di meja. Membuka lemari dan memilih pakaian ganti. Ingin segera mandi lalu tidur. Perkara mencuci baju akan dilakukan sore hari. Semua rencana hari ini sudah tersusun rapih di otak Arumi.
Menyambar handuk yang digantung di belakang pintu, tangan gadis itu bergerak meraih kenop dan berniat memutarnya, saat terdengar nada notifikasi pesan masuk dari ponsel di dalam tas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menggapai Rasa
ChickLitGadis ini tampak baik-baik saja. Polos dan bahagia. Hanya saja ... Ketika hati perlahan beku, karena suatu kejadian di masa lalu. Dapatkah seseorang yang memiliki lukanya sendiiri, akan mampu menghangatkannya lagi?