🍁3🍁

13 0 0
                                    

**
Mengobrol dengan Mbak Nadia selalu sangat menyenangkan. Tidak terasa sampai menghabiskan waktu dua puluh menit, mungkin lebih.

Saat keluar dari ruangan bos, tanda BUKA untuk hari ini, sudah dipasang. Puput memandang penasaran, saat kuhampiri mejaku yang bersebelahan dengan mejanya. Kami bekerja di bagian keuangan rumah makan, merangkap menjadi asisten Mbak Nadia.

"Ada masalah apa? Kok lama di dalam? Kamu dimarahi? Ada catatan pembukuan yang nggak sinkron? Atau ... diminta secara resmi jadi kakak ipar," dengan memamerkan seringaian jahil dan telunjuk yang menoel-noel lenganku, Puput terus meledekku, "Mukanya cerah banget, heh?"

Tidak ada akhlak, belum juga duduk, dia sudah memberondongiku dengan berbagai pertanyaan dan ... ledekkan?

"Ish ... satu-satu lah, Put." Kuletakkan bokong di kursi kebanggaanku,
"Nggak ada masalah. Ada ngobrolin beberapa hal, sedikit curhat dan, sekalian melepas kangen. Aku ini calon ipar yang baik hati dan sangat perhatian, kan?" Kuikuti saja kelakarnya yang sama sekali tidak lucu. Nggak ada yang namanya baper-baperan di antara kami berdua. Karena aku dan Puput, sama-sama tidak jelasnya.

Tanpa belas kasih, Puput menoyor keningku, yang kedua kalinya dalam sehari ini. "Mimpi ... !!!" Semburnya mencibir.

Aku tergelak. Bukannya kita harus punya mimpi yang tinggi?
Mas Raka itu memang ganteng. Kulitnya tidak seputih Mbak Nadia. Wajahnya mulus, tanpa ada bakal jenggot atau pun kumis. Badannya bagus, proporsional, mungkin rajin olahraga. Yang pasti kaya dan mapan. Mendekati sempurna. Tipe idaman banget, kalau kata Puput.

Aku kagum dan segan padanya, itu saja _ nggak lebih. Lagi pula aku sadar diri, di mana tempatku berada. Biasanya kan, orang kaya dapat orang kaya. Yang miskin cukup puas hanya sebatas mengagumi. Hanya saja, kami berdua sering menjadikan Mas Raka sebagai standar pria impian.

Puput memandangku jengah, "Mbak Nadia ada ngomong apa sih? Buruan cerita, mumpung masih sepi juga," senangnya membuat temanku ini semakin penasaran.

"Ck ... yaelah, San Chai keppo akut," kucolek pinggangnya berkali-kali, untuk menggelitikinya. Bibir Puput mencebik dan mendesis risih, membuatku terkekeh geli. Mau tahu kenapa dia kupanggil San Chai? Karena ... Puput itu pendek, imut dan mungil.

"Mbak Nadia bilang kalau sabtu malam besok, tempat kita dibooking buat acara  Mas Raka dan teman-temannya. Rencana sampai jam sebelas malam mungkin lebih. Jadi kita semua diminta lembur."

Akhirnya kusampaikan juga pesan dari Mbak Nadia, setelah membuat sahabatku ini jengah bertanya dan kesal.

"Terus kita pulang pagi gitu," responnya terlihat malas.

"Yups," aku mengangguk membenarkan. "Kalau sudah kepagian banget dan nggak bisa pulang, karena pintu gerbang kos juga sudah pasti dikunci, kita disuruh nginap di sini aja. Minggunya kita libur, dan ... jangan lupakan uang lembur,"  Puput manggut-manggut, lalu terbitlah senyum cerah di bibirnya yang sejak tadi memberengut.

"Malam ini, setelah tutup, kita diminta ngumpul. Mas Aryo dan Mbak Nadia mau ngebahas buat persiapan acara besok. Ada pesanan khusus kayaknya." Sampai di sini, kami harus menghentikan pembicaraan. Karena mulai ada pelanggan yang datang. Maklum, waktu sudah menunjukkan jam sebelas siang lebih.

**

Jam delapan malam hampir semua karyawan berkumpul di ruangan santai, tempat yang biasa digunakan untuk beristirahat. Ada teh hangat dan kopi hitam di meja, juga beberapa camilan dan tempe mendoan, beserta cabe rawit hijau sebagai pelengkap.

Mas Aryo dan Mbak Nadia mulai membahas dan merencanakan apa saja yang akan disajikan esok hari, dan konsep apa yang diinginkan oleh Mas Raka sebagai penyelenggara pesta.

Menggapai RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang