🍁 2 🍁

27 1 1
                                    

Perasaan sejuk dan adem menyapa, saat sampai di pelataran bangunan tempat kami bekerja. Lebih kurang sepuluh menit kami habiskan untuk sampai di sini.

Rumah Makan Saung Adem berada di sekitaran GOR Satria. Bangunan yang tampak sederhana ini, berdiri di atas lahan yang cukup luas. Di antara bangunan-bangunan modern perkotaan yang padat dan panas, tentunya rumah makan ini tampak lebih menonjol dengan kesan tradisional.

Beberapa pohon palem menjulang di pinggir pelataran. Tanaman rindang lainnya pun sengaja ditanam di antara saung-saung bersantai tempat para pengunjung.

Setelah memarkirkan si matic di parkir khusus karyawan, aku dan Puput segera masuk melalui pintu samping bangunan, yang memang diperuntukkan bagi lalu lintas kerja para karyawan. Belum jam sebelas, jadi rumah makan belum buka.

Terlihat kesibukan karyawan yang sedang membersihkan area pengunjung. Rumah makan ini dirancang duduk lesehan, dengan saung-saung terbuka yang beratapkan daon. Mirip saung-saung di persawahan, sangat nyaman dan adem, karena semilir angin alami yang berhembus leluasa.

"Nggak kepagian, kalian?!"

Sapa Mas Aryo dengan senyum miring, menyindir. Kubalas saja dengan senyum acuh sambil mengedikkan bahu. Meladeni nyinyirannya sama saja dengan menabuh genderang perang, hanya akan merusak moodku di pagi hari.

Mas Aryo adalah teman Mbak Nadia sang pemilik RM Saung Adem, yang didaulat sebagai chef di sini. Orangnya baik kok, tapi menyebalkan, karena omongannya suka benar.

"Ada yang ronda semalaman, ini Mas. Mantengin cowok-cowok seksi dari negeri bersalju. Matahari udah bersinar terang, dia baru tarik selimut. Mana dibangunin susah banget." Mulut Puput nggak ada filternya, menyebar aib ke Mas Aryo yang suka julid. Benar-benar ngajak gulat ni cewek.

Aku melirik ke arah Mas Aryo, terlihat kernyitan di keningnya, "Negeri bersalju?"

Puput berdecak, "Itu loh, negeri ginseng. Yang banyak boyband-boyband terkenal dengan wajah rupawan."

Gadis itu berusaha mencerahkan Mas Aryo dari kebingungan. Maklum lah, Mas Aryo itu orang muda berjiwa tua. Mana kenal dengan EXO, BTS, NCT, Super Junior dan teman-temannya! Penyanyi favoritnya itu Ebiet G Ade, katanya syair lagu-lagu beliau sangat bermakna dalam dan bijak. Dan aku, sialnya sebelas duabelas dengannya, alias sepemikiran.

"Bilang aja Korea Selatan. Pakai negeri bersalju segala, ginseng pula dibawa-bawa. Yang bersalju itu banyak, Put. Puncak Jaya Wijaya saja bersalju!" Cerocos Mas Aryo kemudian.

Kulihat Puput meringis sembari menggaruk kepala, yang kuyakini sama sekali tidak gatal. Karena, tadi pagi rambutnya masih sedikit basah, pertanda dia baru saja keramas. Kugigit bibir bagian bawah, sebagai upaya menahan semburan tawa yang hampir saja meledak.

"Cowok seksi yang kamu bilang, kayak model mi instan yang lagi wara-wiri di tivi itu, maksudnya? Ck ... kalau iya, masih seksi, macho dan gantengan aku ke mana-mana lah," sambung Mas Aryo dengan bualan pongahnya, dan pergi berlalu memasuki ruangan Mbak Nadia.

Nah kan, julidnya kambuh. Mulai meleber ke mana-mana. Coba saja ada siwones yang dengar, bakal dilempar mukanya pakai telor yang mau dimasak Mas Aryo buat capcay.

Aku terkekeh geli, sebab sekelebat bayangan dari hasil pemikiran otakku yang mulai oleng, karena ucapan absurdnya Mas Aryo, yang mungkin jarang bercermin ... bisa jadi.

"Istighfar Rum, dari tadi senyam senyum ga jelas. Eits, jangan-jangan kamu kesambet jin item penunggu rumah kosong, ya?!"

Itu suara Setyo yang dari tadi mondar mandir bebersih, dengan menenteng kain lap sebagai alat perang kebesarannya, berhasil membuatku yang sedang merapihkan meja kasir, berjenggit kaget.

Menggapai RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang