🍁6🍁

6 0 0
                                    

"Put, nanti kita pulang aja ya?!"

Hanya itu jalan terbaik yang didapat Arumi setelah berkutat dengan pikirannya yang tiba-tiba menjadi kusut. Padahal pria bernama Zayn itu, bahkan tidak melakukan konfrontasi apapun selain hanya menatapnya.

Ada yang salah dengan dirinya. Kenapa dia kehilangan kendali? Mereka saja belum bertemu kembali. Mengapa  hatinya menjadi sangat tidak tenang?

"Kamu ngomong apa si Rum? Nggak mungkin lah kita balik ke kosan dini hari. Kita nginep. Titik." Puput menatap Arumi tajam.

"Aku bisa pulang sendiri," bersikeras dengan keinginannya, Arumi menantang balik tatap mata sahabatnya. Tidak bisa dimengerti, bagaimana emosi Arumi mengalahkan akal sehatnya kali ini.

"Dan nggak dibukain pintu atau diusir setelahnya? Itupun kalau kamu selamat sampai di kosan. Kalau-kalau kamu lupa. Kejadian waktu anak kos gang sebelah yang diganggu preman di tempat sepi remang-remang, saat dia pulang lewat tengah malam?"

Arumi terhenyak. Dia melupakan fakta itu. "Aku bakal minta Setyo atau Mas Aryo ngantar balik," tetap bersikukuh dan mencari langkah aman. Arumi yakin itu adalah keputusan terbaik saat ini. Ya, terbaik buat kesehatan emosi dan mentalnya yang kacau karena hal yang tidak jelas.

"Mbak nggak ngijinin," tanggap Nadia cepat meski Arumi tidak berniat meminta persetujuannya. "Mereka juga capek dan butuh istirahat. Arum sama Puput menginap di sini. Nggak ada bantahan!" Ucap Nadia tegas, sebelum melangkah pergi meninggalkan kedua gadis yang masih terlihat ingin berdebat.

"Udah dengar tadi apa kata Mbak Nadia?" Tangan Puput bergerak menyentuh bahu Arumi. Menariknya agar mereka bersimuka. "Sebenarnya kamu kenapa, Rum? Aku perhatiin, sejak ketemu temannya Mas Raka itu kamu jadi aneh. Kayak bukan Arum aja. Padahal dia nggak ngapa-ngapain tadi. Atau sebenarnya-- kamu udah kenal sama dia?" Mata Puput memicing curiga.

Arumi menggeleng. Tapi enggan menjelaskan. Apa yang mau dijelaskan! Dia sendiri kebingungan dengan reaksi hatinya yang berlebihan.

Puput tidak serta merta mempercayai jawaban gadis di depannya, yang bahkan tidak repot untuk bersuara. "Nggak mungkin kan, ada asap kalau nggak ada api?!" Puput diam mengamati. Dilihatnya raut bingung di wajah Arumi. Bola matanya bergerak gelisah dengan alis bertaut.
Mengetukkan jari di dagu, Puput merenung. Lalu terkesiap dengan pemikiran yang melintas di otaknya. "Kamu tertarik sama cowok itu tapi kamu takut. Kamu sedang bingung dengan perasaan yang baru. Mungkin, dia akan jadi jatuh cinta pertama kamu, Arumi." Puput tersenyum lebar, bangga dengan analisanya yang luar biasa.

Arumi mengerjap. Ucapan Puput sedikit berpengaruh pada otaknya yang kemudian mengembara, mencari debaran jantung yang mungkin menggila. Nihil. Yang dia tahu adalah-- bola mata itu sangat menawan. Arumi mengakui, dia sempat tersihir akan keindahannya. Ah ... Benar. Kagum. Dia hanya kagum. Belum pernah dirinya melihat mata indah seperti milik lelaki itu secara nyata.

Arumi yakin dan bernafas lega. Dia tidak tertarik pada ... Zayn. Apalagi sampai jatuh hati. Sangat tidak masuk akal menurutnya.

"Nggak mungkin."

"Kenapa nggak mungkin? Tipe kayak Zayn itu, mudah buat cewek jatuh cinta. Dan aku yakin kalau banyak cewek yang suka dan ngejar-ngejar dia. Aku aja terpesona tadi."

"Ya--Nggak mungkin aja." Arumi bertahan pada keyakinan yang setidaknya membuat hati merasa tenang.

Puput mendengus. "Penyangkalan yang hebat, adalah bukti bahwa hati meragu. Siapa ya yang dulu pernah ngomong gitu?" Mencebik dengan sudut bibir terangkat sebelah. Puput memamerkan senyum miring mengejek.

"Nggak perduli. Aku sudah tahu apa yang aku rasa."

Tersenyum penuh percaya diri, Arumi berdiri. Melenggang pergi meninggalkan Puput yang menggerutu tidak jelas. Karena Arumi sudah menulikan pendengarannya.

Menggapai RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang