4. Unpredictable Scene

8 1 1
                                    

"Unik, baru kali ini aku menemukan wanita yang seperti ini. Kalau dilihat-lihat, ketika dia sedang diam saja, dia tak seburuk itu, manis."

"Huwaaa, sakit loh. Tapi kok tadi saya gak kerasa apa-apa ya sebelum kamu kasih tunjuk lukanya." Wanda mengernyitkan dahinya, menahan sakit, sedangkan vian menempelkan plester pada lutut wanda setelah ia olesi dengan obat merah.

"Kamu ini, hobi banget ya pakai obat merah? Sepertinya baru kemarin saya lihat kamu pakai obat merah untuk ini." Vian memegang luka tangan di wanda yang diakibatkan karena insiden pohon mangga kemarin. Wanda mengernyit lagi, kemudian menendang kaki vian.

"Ish yang itu juga masih sakit, malah kamu pegang." Ujar wanda yang diikuti dengan kekehan vian.

Kampus masih sangat sepi kala itu, bahkan mahasiswa yang datang untuk kelas pagi pun belum terlalu banyak. Jam menunjukan pukul 6.35, masih terlalu dini rupanya.

Menarik nafasnya dalam- dalam, menghirup embun pagi yang segar, Wanda membaringkan badannya, memandang langit pagi itu. Wanda mengangkat tangannya seakan mengucapkan perpisahan kepada bulan yang masih sedikit terlihat.

Vian membereskan sisa- sisa plester yang tadi ia gunakan untuk membalut luka wanda, sesekali ia memperhatikan wanda secara diam- diam. Semakin ia meneliti wanda, semakin ia menyadari hal yang pada awalnya tidak ia sadari, manis.

Cepat-cepat vian menggeleng dengan keras, menyadarkan pikirannya yang mulai melantur. Wajah yang terlihat polos itu nampak seperti setan jika vian mengingat kejadian kemarin dan pagi tadi. Namun tidak bisa di pungkiri, saat ini wanda terlihat sedikit manis, sehingga membuat vian secara tidak sadar menarik sudut bibirnya, tersenyum tipis. 

Wanda membuka matanya, kemudian bangun dengan cepat, membuat vian yang tadi tersenyum menjadi berdeham dan mengatur ulang raut wajahnya.

"Hufttt, hampir saja aku tertidur." Ucap wanda sembari mengerjap matanya. "Nah.. begini ya Navian, untuk menjadi asisten pribadi saya, kamu harus lolos beberapa tahap seleksi. Dan tahap pertama, untuk tes fisik kamu lolos! Lumayanlah.."

Pernyataan wanda membuat vian mengangkat satu alisnya, sungguh salah besar ia tadi mengatakan bahwa wanda manis dan menggemaskan, pada kenyataannya ia adalah iblis wanita.

"Tunggu tunggu, sepertinya ada salah paham disini nona. Yang pertama, nama saya Novian, bukan Navian. Dan yang kedua, asisten Pribadi? Maaf sepertinya kamu salah, saya hanya melakukan observasi terhadap kamu. Dan yang ke tiga. Saya tidak akan melakukan seleksi atau apapun itu." Ujar vian sembari menatap wanda tajam- tajam.

Wanda menyilangkan tangannya, membalas tatapan vian, mengamati vian dari atas sampai bawah. "Hemm.. menarik. Oke kamu lolos tahap kedua, yaitu berfikir rasional. Saya pikir cukup dua itu saja kamu sudah memenuhi syarat, tidak perlu tes IQ dan tes- tes yang lain."

Vian mengangkat sudut bibirnya, tak percaya dengan apa yang ia dengar. "Nona, saya selama ini sudah cukup sabar mengingat nona adalah anak dari prof yudi. Tapi sepertinya nona suka bertindak seenaknya. Mungkin saya sudah salah memilih, saya akan bicarakan dengan prof yudi agar membatalkannya saja. Sepertinya lebih mudah merevisi dibandingkan mengikuti nona."

Vian berjalan melewati wanda, meninggalkan ia sendiri. Wanda kebingungan, befikir apakah ia sudah terlalu jauh menggoda vian, tiba- tiba wanda mengingat hari- harinya jika ia dikirim ke rumah neneknya.

"Novian, tunggu novian. Mari kita bicarakan lagi sobat, em.. negoisasi?" Ucap wanda sembari mengekori vian.

Vian menghembuskan nafas panjang, menghentikan langkahnya yang membuat wanda menabrak punggungnya karena vian menghentikan langkahnya secara mendadak.

Vian membalikan badan, menatap wanda dan menghembuskan nafas kembali "Baiklah, saya coba selama sehari. Tapi, nona tidak boleh berbuat seenaknya kepada saya. Jika saya menemukan titik terang, maka saya lanjutkan."

Mendengar ucapan vian, wanda menjadi berbinar, ia melompat kegirangan kemudian mengaduh dan memegang kakinya yang tadi terluka.
"Baikklaaahhh. Oh iya, panggil saya Wanda. Kamu terlalu sopan jika memanggil saya nona, padahal saya sudah kurang ajar sama kamu"

Lagi- lagi vian tersenyum simpul. Sungguh Pagi yang luar biasa bagi vian.

....

Vian menutup buku catatannya, sore itu adalah jam terakhir vian untuk kuliah hari ini. Ia meregangkan otot- otonya yang tegang, kemudian melihat manusia di sampingnya yang tertidur pulas. Satu- satunya kawan yang dia punya, wahyu.

"Jangan adik manis." Wahyu berbicara dalam tidurnya, membuat vian tak kuasa menahan tawanya. Namun di satu sisi jiwa usilnya bergejolak.

"Abang, adek laper bang." Vian membuat suaranya seperti wanita.

Wahyu langsung membuka matanya dan mengelap sudut bibirnya. "Wah sialan kamu vi. Saya baru enak- enak mimpi jalan sama Anya malah kamu ganggu."

"ANYA SIAPA HAHAHAHA. HALU BANGET BOS." Vian tertawa terbahak- bahak, sangat prihatin terhadap kawannya yang selalu ber halusinasi itu.

Wahyu melihat ke arah pintu. Kelas sudah sepi, namun terdapat satu orang wanita di depan pintu yang sedang menatap mereka. Wanda rupanya.

"Eh itu siapa? Kenalkah? Kenapa lihat ke sini terus ya." Ucap wahyu sembari menyenggol lengan vian.

Vian yang melihat sosok itu sontak berdiri dan menghampirinya. "Saya duluan ya yu. Nanti saya critain lewat chat."

Wahyu melongo melihat vian dan wanda berjalan bersama. Kemudian meneraki mereka berdua.
"VIAN SEJAK KAPAN KAMU DEKET SAMA CEWEK NGGA BILANG KE SAYA!"

"DIAM KAMU, DIA BUKAN CEWE SAYA!" Vian menjawab teriakan wahyu, sedangkan wanda terkekeh melihat mereka saling terteriak, sekaligus melihat raut wahyu yang seperti cemburu dan posesif kepada vian. 

Vian dan wanda berjalan menuju tempat parkir kampus. Setelah sampai, vian menanyakan wanda kemana ia akan pergi hari ini.

Wanda tersenyum, kemudian menggunkan helm, dan menyuruh vian untuk menjalankan kendaraannya. Vian yang menunggu penjelasan wanda lagi- lagi kebingungan, namun anehnya ia tetap mengendarai motor berdasarkan instruksi dari wanda tanpa tau kemana tujuannya.

"Nah tujuan kita di depan situ ya bang vian."

Vian memicingkan matanya, melihat palang yang tertulis di sana. Kemudian menggosok matanya menggunakan tangan, memastikan apa yang ia baca.

PANTI JOMPO

"Kenapa diem aja ish, ayok cepetan. Temen- temen aku udah nungguin tau." Ujar wanda sembari merapihkan rambutnya yang berantakan karena helm. Sedangkan vian masih mencerna keberadaannya di tempat itu

'Teman?' Tanya vian pada dirinya sendiri.

-end of part 4

The Eternal MemoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang