3. Naughty Daughter

11 1 0
                                    

'Bagaimana bisa aku terjebak pada situasi awkward ini. Aku ingin pulang :)'

Vian menghempaskan pantatnya ke sofa setelah dipersilahkan duduk oleh pak yudi.

Setelah wanda menangis di atas pohon mangga tadi, pak yudi sangat ketakutan dan menyuruh vian untuk mengambil tangga. Tentu saja secara diam-diam, tak ingin merusak citra prof yudi di kalangan civitas akademik. 

Butuh waktu setidaknya 1 jam  untuk menurunkan wanda yang ketakutan di atas pohon mangga. Tubuhnya dipenuhi luka gores akibat ia terlalu erat memeluk dahan yang kasar.

Pak yudi mengambil kotak p3k dan mencarikan obat merah untuk luka wanda. Sedangkan vian masih kebingungan dan menebak- nebak apa yang  sebenarnya terjadi.

"Maaf ya nak kamu jadi ikut terseret masalah bocah badung ini" ujar pak yudi sembari menoyor kepala wanda. Wanda meringis, pura- pura kesakitan. "Lagian papa kenapa nyuruh mahasiswanya buat ngejar wanda sih."

"Tenaga papa ngga kuat kalau suruh ngejar kamu sayang. Kalau dia kan masih muda, masih penuh tenaga." ucapnya sembari mengehela nafas panjang. 

Bagai terlupakan, vian masih duduk sembari mendengar perdebatan antara ayah dan anak itu.

"Oh iya, mengenai tugas, tadi saya sudah di kabari oleh dosen pembimbing kamu.. " akhirnya pembahasan yang vian tunggu- tunggu tiba juga, vian mulai mengangkat kepalanya dan mendengarkan dengan seksama.

"Kalau kamu selama sebulan ini dapat mengontorol anak saya yang badung ini, nilai kamu saya beri A!"

"Oh baik bapak saya akan, APA?!" Terkejut dengan perkataan pak yudi, vian membelalakan matanya seakan tidak percaya, hari ini saja sudah cukup melelahkan bagi vian. Wanda yang mendengarnya juga tak kalah terkejut, "Apaan sih pa, wanda udah gede loh pah.. Udah kuliah, kenapa sih masih di kekang- kekang."

"Tugas dia adalah terkait mengenai pengendalian emosi. Dan lihat kamu.. sangat mirip dengan mama kamu, papa sudah pusing dengan mama kamu, dan kamu malah semakin mirip dengan mama kamu."

Wanda tidak bisa membayangkan bagaimana hari-harinya selama sebulan ini jika di awasi oleh orang kepercayaan papanya, bisa- bisa ia tidak dapat bersenang- senang bersama kawan-kawannya dengan tenang.

"Pah, wanda gabisa kalo di ikutin gitu ah, wanda ngga nyaman." Ucap wanda yang sudah sedikit melonggar.

"Jadi kamu tidak mau? Sayang sekali, padahal kalau kamu mau papa tidak jadi mengirim kamu ke tempat nenek loh bulan besok."

Wanda yang pada mulanya sudah berakting sedih karena tawaran papanya menjadi sumringah mendengar perkataan papanya.

Menginap di rumah nenek adalah hal yang sangat amat tidak sukai wanda. Ketika menginap di rumah nenek, maka kelas kefeminiman akan dimulai, mulai dari yang belajar menjahit, menyulam, memasak, hingga belajar menata rambut dengan sanggul, ughhh membayangkannya saja sudah membuat wanda bergidik.

"Hmm baiklah, karna tadi dia juga bantuin wanda turun dari pohon mangga, wanda setuju."

Pak yudi tersenyum melihat umpan yang dia lemparkan menangkap ikan besar. "Nak vian, bagaimana?"

Vian berfikir, sudah sebulan ini tugasnya tidak mengalami kemajuan, dan hal ini mungkin saja kesempatan bagi vian untuk memenuhi ambisinya pada matakuliah ini.

"Baik bapak, akan saya usahakan dengan maksimal." Ucap vian sembari tersenyum. Keduanya pun saling berjabat tangan, dan kisah dari mereka dimulai dari sini.

....

Keesokan paginya vian datang ke kampus. Hari ini ia datang lebih pagi dari biasanya, padahal kelas baru akan dimulai pada siang hari. Bukan tanpa alasan vian berangkat lebih pagi, vian semalaman tidak dapat tidur karena memikirkan keputusannya mengenai perjanjian dengan pak yudi.

Memang sih, tugas yang di berikan tidak terlalu sulit, yaitu hanya tinggal seharian bersama dengan wanda lalu melakukan observasi dan mencatat emosi dominan subjek setiap harinya, namun mengingat kelakuan wanda yang sangat luar biasa membuatnya menjadi terfikir banyak hal.

"Jadi sudah resmi  hari ini nih kamu ngikutin saya nya?" secara tiba- tiba sosok yang tadi berada pada benak Vian sudah berdiri di belakang vian dengan posisi kepalanya tepat berada di samping telinga vian. 

"Astaga tuhanku!!" Vian melompat dan memandangi Wanda sembari memegang dadanya, sedangkan wanda tertawa terbahak- bahak karena berhasil mengageti Vian.  Dengan gesit vian memperbaiki posisinya, berdaham, dan memicingkan matanya mengamati Wanda lebih seksama. 

"Tunggu.. saya belum bilang sama kamu maupun Pak Yadi mengenai kapan waktu saya memulai observasi terhadap kamu.. dan lagi, kenapa kamu sepagi ini sudah berada di kampus? Kamu mengikuti saya?" Vian menyilangkan tangannya, menunggu penjelasan dari Wanda, sebab, vian belum lagi mengabari Pak Yudi mengenai keterlanjutan obrolan kemarin. 

"Huh kamu terlalu PD! Sudah ayo ikuti saya. Saya tahu, kelas kamu baru dimulai siang nanti." Ujar Wanda sembari berjalan melewati Vian yang masih menyilangkan tangannya. Mengernyitkan dahi, vian heran karena wanda mengetahui jadwal kuliahnya. 

"Ah tunggu, tolong bawakan yaaa. Terimakaciiiiii." Wanda menaruh tasnya di tanah, kemudian berlari sangat kencang. 

Vian membuka tangannya yang tadinya bersedekap, melongo melihat wanda yang secara tiba- tiba berlari meninggalkan tasnya. Mematung beberapa detik, vian segera tersadar dan langsung mengambil tas Wanda sembari berlari mengejarnya. "Heh!! wah anak gila!!" 

Belum ada satu jam vian bertemu wanda, namun mental vian sudah jatuh karena serangan kejut wanda di pagi ini. Belum juga terhitung satu hari vian menghadapi wanda yang tak terduga, namun rasa lelah sudah menyelimuti vian. Namun meskipun begitu, vian hanya diam saja dan ikut berlari membuntutinya dari belakang.

"Hahahaha, seru kaaaan?? Hahahaha" Wanda berlari sembari menoleh ke belakang, maksud hati ingin mengecek Vian dan mempercepat lari, Namun kakinya tidak bisa mengontrol keseimbangannya,  alhasil ia tersandung kakinya sendiri, dan terjerembab ke tanah.

"Aduh! astaga cewek ini." Vian mempercepat larinya, dan menghampiri wanda yang masih diam tengkurap di tanah. "Kamu gak apa?" Tanya vian sembari memegang pundak Wanda, sedangkan wanda masih dalam posisi yang sama, tiarap dengan wajah menghadap ke tanah. 

Wanda berdiri, dan melompat, membuat Vian semakin terkejut. "Yuhuuu, Whoaa, cepat juga kamu. Oke, Tes Fisik LULUS!" Wanda mengangkat jempolnya ke arah depan wajah Vian. 

Vian masih diam, rasanya ingin pergi ke sebuah tempat terpencil dan berteriak kencang. Frustasi. Namun yang ia lakukkan sekarang hanyalah diam mematung, di depan seorang wanita yang tertawa lebar dengan luka dilututnya, sembari membawa tas yang terlihat sangat feminin di tangan vian. 

"Uhmm. Okei, tapi sebaiknya kamu jelaskan setelah kamu membersihkan itu." Vian menunjuk lutut Wanda yang mengeluarkan banyak darah. Wanda yang tadinya terlihat baik- baik saja setelah melihat lututnya menjadi merasakan sakit. Wajahnya mulai menuduk, diikuti dengan tangisan. 

"Hiks, Sakit ternyata." Ketika ia mengangkat wajahnya, air mata sudah membasahi seluruh wajahnya, namun pemandangan di depannya cukup membuat vian merinding. 

'Dia.. kenapa menangis tersedu- sedu sambil tersenyum begitu, MENYERAMKAN!' :) ujar vian di dalam hatinya. 

-end of part 3

The Eternal MemoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang