Wattpad Original
Ada 4 bab gratis lagi

Bab 2

113K 10.6K 123
                                    

Bab 2

Tsamara menghentikan langkah tepat di lorong arah pintu keluar Bandara Soekarno Hatta. Untuk beberapa saat terlewat, yang ia lakukan hanyalah menarik napas dalam-dalam. Langkah kakinya tiba-tiba terasa memberat. Ini kali pertama ia menginjak lantai Bandara Soekarno Hatta setelah lima tahun berlalu.

Dulu, ketika ia akan meninggalkan Jakarta, ia berulang kali menoleh ke belakang, berharap lelaki itu akan mengejarnya, menahan dirinya agar tidak perlu pergi.

Namun, tentu saja, lelaki itu sama bodohnya seperti dirinya.

"Mbak capek, ya? Sini, biar Alta aku yang gendong," Fanny membuka suara. Adiknya yang baru saja lulus kuliah, akhirnya turut serta ikut ke Jakarta. Sementara mencari pekerjaan, Fanny akan menjaga Alta.

Tsamara tidak mempunyai pilihan lain selain menyanggupi mutasi pekerjaannya dari kantor. Dan tentu saja, ke mana pun ia pergi, putra semata wayangnya akan terus bersamanya. Tidak mungkin juga jika ia menitipkan Alta di rumah orang tuanya. Lagi pula, Tsamara sungguh tidak ingin melewatkan tumbuh kembang sang putra.

Tsamara menoleh ke arah sang adik dan tersenyum dengan kepala menggeleng. Bukan berat karena menggendong Alta, namun pikiran-pikiran baru yang terus berdesakkan memenuhi kepalanya. Ia memang tidak boleh seperti ini, namun bagaimana lagi, segala kemungkinan tanpa malu menyesaki pikirannya.

"Kita lanjut jalan lagi, kamu bawa kopernya saja," Tsamara membalas, melirik dua genggaman tangan Fanny yang masing-masing memegang koper dengan ukuran cukup besar. "Leo mungkin sudah menunggu di depan."

Fanny menurut tanpa membantah, mengiringi langkah Tsamara yang terayun pasti dengan Alta di gendongan sedang terlelap. Bocah tampan itu sudah tertidur sejak di pesawat. Awalnya begitu semangat saat menaiki moda transportasi bersayap itu, namun beberapa menit saat menyamankan duduk di kursinya, segala celoteh bocah itu terhenti. Tergantikan dengan hela napas pelan dan kelopak memejam.

"Mas Leo di mana, Mbak? Aku enggak lihat, deh." Fanny mengedarkan pandangan di sekitar pintu kedatangan.

Tsamara memicingkan mata, menelisik satu persatu wajah orang-orang yang berada di kerumunan tepat beberapa meter di depannya. "Leo bilangnya udah sampai bandara dari tadi. Apa mungkin lagi ke toilet," ucapnya ketika tidak menemukan sosok sang sahabat, yang wajahnya sudah teramat ia kenali. "Kita tunggu di lobi depan saja, deh."

Belum sempat Tsamara dan Fanny melanjutkan langkah, seruan seseorang yang terdengar amat lantang menyapa gendang telinganya.

"Tsamara! Di sini."

Tsamara menoleh ke arah suara, dan senyumnya mengulas geli saat menemukan selembar kertas berwarna putih yang terbentang di atas kepala, tertulis namanya besar-besar. Dan disusul tubuh seorang lelaki yang melompat-lompat berusaha menampakkan diri di tengah-tengah kerumunan.

"Dia norak, seperti biasa," gumam Tsamara seraya menggeleng pelan. Dia melirik ke arah sang adik yang tampak tak mengalihkan tatapan dari sosok Leo. Wajah lelaki itu sesekali menyembul dari kerumunan, dengan helai rambut hitamnya yang terangkat, dan berantakan.

Tidak menunggu lama, kedua kakak beradik yang gurat wajahnya begitu berbeda berjalan mantap ke arah Leo, yang sore ini berperan menjemput mereka.

"Hai, Tsa. Selamat datang kembali di Jakarta. Kota dengan sejuta mimpi." Leo, lelaki tampan berkulit putih dengan bulu mata tebal dan senyuman manis itu membentangkan kedua lengannya. Menyambut dengan sangat antusias kedatangan Tsamara dan Fanny, ketika akhirnya ia berhasil lolos dari kerumunan.

"Hai, Mas Leo."

Bukan Tsamara yang membalas sapaan ceria Leo, melainkan Fanny. Senyuman gadis itu terulas lebar secerah matahari pagi yang terbit tanpa malu-malu.

Play DateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang