4.Random

70 10 4
                                    

Ketika melepas adalah pilihan yang
terbaik dibanding mengenggam, semoga segala rasa perlahan
memudar seiring waktu.
-Es batu keldos-

Pagi ini akan dilaksanakan ulangan dadakan. Semua murid protes mereka berdalih bahwa semalam mati lampu lah, ada urusan keluargalah, bantuin nyokaplah dan alasan-alasan pasaran lainnya. Hanya gue yang tenang mendengar perkataan Pak Suho tadi. Gue tenang karena sejak menikah dengan es batu kelebihan dosis itu gue diharuskan belajar setiap malamnya walaupun hanya sekedar membolak-balik buku.

"nge"

"Iya Jenie kenapa?"
Jenie adalah teman sebangku gue sekaligus sahabat gue.

"Hayuk kantin yuk"

"Ayo, shalat dulu tapi"

"Jenie lagi halangan nge"

"Jenie mau ke kantin duluan aja? takut nunggu lama."

"Gpp deh aku tungguin aja"

Setelah selesai melaksanakan kewajiban gue dan Jenie langsung berjalan menuju kantin. Jenie mengenggam tangan gue seraya mengoyangkannya ke depan belakang seperti anak Tk. Jenie satu tahun lebih muda sehingga sifatnya manja tidak seperti gue yang lebih mengayomi, dikitlah. Meski beda 1 tahun gue sama dia sepakat untuk memanggil nama saja agar cepat akrab.

"Unge, masa ada yang liatin aku. Ga enak banget sama Riwon takut sakit hati hm"

"Haha Jenie-Jenie kamu lucu banget sih,"

Sahabat gue yang satu ini emang persis kaya anak Tk aja kalo sama dia bawaanya pengen jungkir balik.

"Ih Unge Jenie seriusan" Jenie mengesekan giginya ke kanan dan ke kiri bergantian tatapannya tajam.

Basket adalah olahraga yang gue sukai sejak duduk di Sekolah Dasar.
Itu sebabnya Basket menjadi ekstrakulikuler yang gue pilih.

Gue memang terkenal sangat pecicilan membuat gue lagi-lagi mencium aspal karena tidak mengatur keseimbangan saat latihan.

Semua orang menertawakan tanpa henti, sesekali ada yang menyoraki dengan kata-kata tak senonoh namun tak lama ada seseorang yang berbicara membuat tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulut orang-orang tadi.

"Sudah-sudah diam!. Waktunya istirahat. 15 menit dari sekarang" perintah pria tampan beralis tebal itu. Dia adalah Barra octora seorang ketos sekaligus leader basket.

"Kamu nggak papa?" Barra mencoba mengulurkan tanganya

"Makasi kak tidak perlu repot-repot saya nggak papa kok" gue mencoba berdiri tanpa menerima uluran tangan Barra walaupun usaha gue gagal karena terjatuh lagi.

"Gpp sini saya bantu, saya tau kaki kamu terkilir"

Di sela-sela pengobatan Barra memulai pembicaraan agar suasana tidak terlalu sunyi.

"Kamu nggak pemanasan yah makanya terkilir?"

"Hehe iya kak tadi saya terlambat jadi tidak sempat pemanasan"

"Pemanasan wajib loh biar otot-otot kita ga kaget"

Omongan Barra tadi hanya gue angguki.

Gue pulang bersama Barra. Sebenernya gue sudah menolak tapi Barra memaksa karena katanya ini salah satu tanggung jawabnya. Jadi mau tak mau gue mengiyakan ajakan itu.

Sebelum masuk ke rumah gue mengucapkan terimakasih dan maaf merepotkan kepada Barra. Bukanya tak mau mengajak Barra masuk terlebih dahulu tapi gue benar-benar takut kalo mas Gibran bakal ngamuk.

Benar saja. Hanya sekedar diantar pulang oleh laki-laki saja gue  sudah kena sindir gimana jadinya kalo dibawa masuk?

"Ehem-ehem"

"Maaf mas Unge baru pulang. Unge habis basket tapi pas lagi latihan Unge pecicilan jadi jatuh deh. Tadi yang nganter kaka kelas Unge dia ketos loh mas leader basket juga, yang naksir banyak banget. Kenapa lama?, soalnya tadi motornya ka Barra bocor jadi harus nunggu nambal dulu deh maaf yah mas. Janji deh ga akan di ulangin kalo ga lupa hehehe" gue menjelaskan semuanya tanpa henti males amat kalo harus kena omel.

"Berisik banget si. Udah sana masuk"

Selesai membersihkan badan dan menjadwal pelajaran esok gue langsung ke dapur menyiapkan makan malam.

Ada seseorang yang kurang lebih 20cm lebih tinggi berdiri disamping gue.

"Eh ayam" badan gue seakan meloncat
"Ngapain sih mas kesini, ngangetin aja. Sini nggak pisaunya" gue menjinjit-jinjit berusaha mengambil pisau dari suaminya itu.

Bukanya mendapat pisaunya itu gue malah terjatuh tepat didada bidang dan tangan gue tidak sengaja memegang sesuatu yang kenyal-kenyal.

"Hii ini apasih kenyal-kenyal, jangan bilang..." mata gue terpejam ketakutan tapi tangan malah terus memainkan benda kenyal itu.

Gibran langsung menggeser badan gue dan bergegas berdiri.

"Kamu ya masih kecil pikirnya udah kemana-kemana! ini permen yupi tau nggak." Gibran menyodorkan tangannya ke wajah gue

Bukan pikiran gue yang kemana-mana tapi bisa-bisanya lo naro yupi dalem banget persis samping anunya lo.

"Huh.. untung saja bukan"

"Bukan apa!"

"Nggak mas hehe"

"Saya tunggu dikamar!"

Gue takut mendengar ucapan Gibran tadi. Pikiran gue benar-benar overthingking sekarang, kira-kira dia mau ngapain? gue belum siap anjir.

Tetep update walaupun ngada yang baca🤣.
Gpp aku lagi suka aja nulis cerita biar cepet tamat kalo ada yang suka ya Alhamdulillah kalo ngada yaudah gpp ga masalah.
Makasiii
















Es DurenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang