chapter 2- Si Borokokok

564 15 1
                                    


“Rosy, kamu jangan nyusahin nenek. Kasihan jadi pusing semua serba salah gara-gara kamu gak mau sekolah.” Ian berkata pada Rosy sepulangnya  dari Kalimantan.

“Ya, Rosy dengerin papa kamu tuh,” ujar Nyonya Rana.
Sejak dua hari yang lalu Rosy uring-uringan gara-gara diejek teman di kelasnya karena tidak bisa menciptakan karangan tentang ibu.

Apalagi kini hari ibu sebentar lagi dan semua harus datang bersama ibu masing-masing. Rosy minder karena ia tidak punya mama. Dia merajuk pada neneknya dan tidak mau keluar kamar, alhasil sudah dua hari ia tidak masuk sekolah. Ian yang sedang berada di Kalimantan pun ditelepon berkali-kali, tapi karena pekerjaannya yang tidak bisa ditinggalkan menyebabkan ia tidak pulang cepat.

“Pokoknya carikan Rosy mama!”
“Emangnya gampang cari mama.”
“Pokoknya Rosy mau mama…!” teriak Rosy.

Ian berfikir keras dan meminta para bawahannya untuk mencari siapa saja yang mau jadi istri sementaranya  Ian.

Dimas—orang kepercayaannya, mulai mencari dengan yang ada di kantor.
Akhirnya Dimas memiliki calon yang bersedia yaitu Delina dari Divisi Humas.

Delina memiliki wajah cantik seperti penyanyi dangdut kenamaan asal Depok. Merupakan gadis yang baru diputuskan oleh pacarnya.

“Baik, Pak Dimas saya bersedia jadi istri sementara Tuan Adrian Prayogo,” ujar Delina dengan hati berbunga-bunga sebab berharap lebih yaitu memiliki Ian seutuhnya.
**
Satu jam berikutnya Dimas membawa Delina ke hadapan Ian lalu tanpa basa-basi dia membawanya ke kamar Rosy.

“Ini Rosy calon mama kamu,” ucap Ian berharap drama ini segera berlalu dan Rosy mau bersekolah.

Anak yang sedang disuapi makan oleh Mbok Pur itu menengok ke papanya dan terkejut sebab wanita yang di bawanya bukan keinginannya.

“Enggak mau yang itu, dia kayak penyanyi dangdut dia gak bisa berpuisi …!” teriak Rosy.

Semua yang ada di kamar itu tertawa tak terkecuali dengan Nyonya Rana sementara Ian tertunduk malu dengan wajah seperti tomat matang. Namun tidak dengan Delina, dia langsung ngeloyor pergi diikuti Dimas dan Ian.

“Maafkan Rosy ya,” sesal  Ian pada  Delina.

“Iya tak apa-apa,” jawab Delina padahal hatinya merasa sakit kesempatan untuk memiliki CEO di tempatnya bekerja musnah.

Delina pulang kembali ke kantornya dengan di antar Dimas. Ian segera menuju kamar Rosy yang masih bertahan di kamarnya.

“Papa kalau cari mama buat Rosy jangan yang seperti penyanyi dangdut bajunya ketat dan rambutnya merah, Rosy mau mama yang berjilbab seperti mamanya Rindy dan Noval.” Gadis cilik itu mengeluarkan alasannya.

“Ya, tapi kan teman-teman papa gak banyak yang berjilbab.”

Rosy langsung mendekati papanya yang duduk di sofa yang Ian duduki lalu duduk dipangkuan ayahnya.

“Rosy ada calon yang sesuai buat papa, dia cantik dan pastinya papa suka,” Ian langsung mengernyit.
‘Darimana Rosy dapat calon mama?’ batin Ian.

Wanita yang di maksud Rosy adalah salesgirl, waktu itu Rosy meminta no handphonenya dan ditulis di buku tulisnya. Gadis yang berusia sepuluh tahun itu ingin papanya yang menelpon salesgirl itu. Dia ingin pas perayaan hari ibu wanita yang cantik seperti penyanyi gambus itu mau menemaninya ke panggung membacakan puisi bersamanya.
“Papa capek sayang.” Ian memegang kepalanya seolah laporan pada Rosy kalau ia capek dan pening.

“Huuaaa … huaaa… Papa jahat gak sayang sama Rosy, lebih baik Rosy ikut saja sama Om Dimas sama Tante Ana.” Gadis kecil itu menangis sejadi-jadinya sehingga nyonya Rana yang sedang membaca di perpustakaan rumah itu.

“Apa lagi ini Ian? Kamu cepat pergi dan bawa calon mama buat Rosy, ibu gak mau denger anakmu menangis lagi. Gandeng!” Nyonya Rana memberi perintah pada putra kebanggaannya Adrian Prayogo.
Wanita berusia lima puluh lima tahun yang masih segar dan sehat sebab rajin berolah raga.

Ian segera menurunkan Rosy dari pangkuannya dan meminta Rosy untuk memberikan no handphone wanita yang dimaksud Rosy. Setelah berhasil menelpon wanita yang bernama Aulia, Ian berangkat dengan mobil sport warna kuningnya dengan wajah kesal dan mencebik. Terang saja ia baru saja datang dan baru lima jam yang lalu turun dari pesawat.

“Gila, gue harus datang ke pemukiman kumuh gara-gara Rosy,” gumam Ian ketika memasuki kampung di pinggiran kota Jakarta.

Mobil dengan warna kuning itu berhenti di depan warung Mpok Minah, Ian menanyakan alamat yang dikirimkan oleh Aulia melalui ponselnya.

“Maaf, Bu tahu alamat ini gak ?” tanya Ian ketika turun dari mobilnya dan menghampiri Mpok Minah yang sedang duduk didepan warungnya.

“Oh ini satu RT sama saya dia anaknya Pak Mahmud, Tuan. Itu ada rumah yang berwarna putih di depannya ada pohon mangga kelihatan kok tuan.” Mpok Minah menunjuk rumah Aulia.
**
Tok … tok … tok…

Tak ada yang membuka pintu, Ian mengintip apakah ada orang di dalam rumah. Akhirnya dia melihat seseorang sedang mendekati pintu seorang laki-laki tua yang sudah di penuhi uban. Ian langsung menjauh dari kaca jendela rumah itu.

Krieet …

“Assalaamu’alaikum, apa benar ini rumahnya Aulia yang berprofesi sebagai salesgirl?”
Tanya Ian langsung to the point.

“Wa’alaikumsalam, iya itu anak bungsu saya. Tuan siapa ya?” jawab Pak Mahmud dengan mata menyipit dan kepala dianggukkan tanda heran ada laki-laki asing yang tak di kenalnya.

“Boleh saya bertemu dengannya?”
Maaf, Tuan ieu saha?”
(Maaf, Tuan ini siapa?)

“Tolonglah, Pak saya sangat membutuhkan putri bapak,” pinta Ian. Padahal ia tidak tahu bagaimana rupa Aulia sebenarnya. Yang pasti saat ini ia harus membawa wanita itu ke hadapan Rosy.

“Mari masuk dulu.” Pak Mahmud mempersilakan Ian masuk ke rumahnya. Ian mengikutinya ke dalam.ia melihat-lihat ke sekeliling dalam rumahnya yang tampak perabotan tua. Pak Mahmud dan istri tinggal bertiga dengan Aulia putri bungsunya yang masih belum menikah.
“Aulia…!” panggil Pak Mahmud.

“Ya, Pa,” jawab seseorang dari dalam kamar yang ada di dekat dapurnya.

Aulia keluar dari dalam kamarnya dengan mengenakan jilbab instan dan kaos berlengan panjang dengan celana jeans tampak seperti ABG.
Emang sebenarnya Aulia itu Abg( angkatan bibi gue).

“Kamu yang namanya Aulia?”
“Iya, Om ini siapa?” tanya Aulia yang heran dan duduk di kursi dekat Pak Mahmud.

“Saya papanya Rosy yang tadi menelpon.”

“Oh ya, Om ini yang kata gadis cilik itu kaya bukan?”

Ian sedikit mesem dengan gaya bicara Aulia.

“Maksud kedatangan saya adalah ingin membawamu ke hadapan Rosy. Dia tidak mau sekolah sudah beberapa hari, Rosy memintaku menemuimu,” ucap Ian dengan nada cemas, takut Aulia tidak mau.

“Oke lah, Om. Aulia mau lagian sedang gak ada kerjaan,” jawab Aulia sekenanya tidak tahu keadaan nanti di rumah Ian.

Sesudah berpamitan Aulia ikut dengan Ian menuju mobilnya diikuti tatapan sinis para tetangga.

**
“Rosy … ini papa bawa orang yang kamu mau.” Ian menuju kamar Rosy yang ada di  lantai atas.

Sedangkan Aulia duduk sambil melihat ke sekeliling yang takjub dengan pemandangan sekeliling.

“Asyik. Nah itu tante yang mau jadi mama Aulia. Boleh kan Pa?”

Aulia kaget dengan percakapan Ian dan Rosy tapi hanya jadi pendengar dulu.

“Tante mau kan jadi mama Rosy,” pinta Rosy tanpa tedeng aling-aling.
Aulia membelalakkan matanya lalu matanya nyalang menatap Ian yang dipandang malah mengalihkan pandangannya.

“Mama?”

Dasar si borokokok kunaon sih ngajongklokkeun?’ batin Aulia.

(Dasar si borokokok kenapa sih menjerumuskan)
Bersambung.  








OM DUDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang