Saat aku bangun tidur, yang pertama kali kurasakan adalah tubuhku yang terasa remuk. Merapihkan barang-barang, menggangkatnya dari bawah keatas dan kemudian menatanya sampai tengah malam membuat tubuhku pegal-pegal.
Walau tidak terlalu banyak barang yang kami bawa -hanya milikku dan ayahku- tapi mengerjakannya sendiri benar-benar bukan hal yang ringan. Papah hanya membantu memindah-mindahkan barang dari mobil ke dalam saat pagi hari. Kemudian siangnya sampai malam ia pergi mengurus dokumen-dokumen kepindahannya ke kantornya yang baru, dan juga surat kepindahan kami dengan RT dan RW tempat kami tinggal sekarang.
Ia pulang tidak terlalu larut semalam, tapi aku tidak mungkin tega menyuruhnya membantuku sepulangnya dari pekerjaannya. Ia hanya menjawab pertanyaan yang ku lontarkan mengenai kegiatannya hari itu, lalu segera pergi kekamarnya untuk istirahat.
Papah memang seorang pekerja keras, bahkan kami pindah rumah itu karna ia dipindah tugaskan oleh kantornya ke Jakarta. Demi ikut Papah kesini, aku harus meninggalkan teman-teman sekolahku dan kenangan hidupku sejak kecil saat di Bandung -tempat tinggalku sebelumnya.
Yang aku ingat, semenjak Ibu ku meninggal dunia dua tahun lalu ia menjadi semakin gila kerja. Mungkin ia merasa hanya itulah yang bisa ia lakukan, menyibukkan dirinya untuk melupakan kesedihannya atas kepergian Mama.
Tapi ia tidak pernah menyadari bahwa ia masih memiliki aku, anak satu-satunya yang sangat membutuhkan perhatiannya bahkan harusnya lebih besar dari saat Mama masih ada. Namun yang kurasakan adalah makin hari Papah semakin jarang meluangkan waktunya bahkan sekedar untuk menanyai bagaimana sekolahku atau hal kecil lainnya.
Kami hanya bicara seperlunya saat sarapan, malamnya aku akan menunggunya pulang kemudian bertanya tentang bagaimana pekerjaannya hari ini, lalu ia akan menceritakan padaku sekenanya.
Pada saat ia libur, hampir tidak ada bedanya. Kadang aku mengajaknya pergi jalan-jalan tapi ia bilang ia ingin istirahat karna lelah berkerja. Namun saat ada panggilan yang berhubungan dengan pekerjaannya, tanpa berfikir dua kali ia akan langsung pergi. Ya, begitulah kehidupan kami.
Tok tok tok
Aku baru akan bangkit dari tempat tidurku saat ada suara ketukan dipintu kamarku. Aku pun segera membuka pintu dan yang kulihat adalah Papah yang sudah rapih dengan setelan kemeja dan jasnya. Aku mengernyitkan dahiku.
"Katanya papah masuk kantornya besok? Kenapa pagi-pagi udah rapih gini?" tanyaku.
"Barusan atasan papah yang baru nelfon, papah hari ini harus ke kantor buat perkenalan sekalian liat tempat kerja papah disana." jelasnya sambil merapihkan dasi bermotif garis-garisnya. Seperti biasa, begitulah dia.
"Kamu tolong beliin papah sarapan diluar ya, jam tujuh papah udah harus berangkat." katanya kemudian berlalu dari hadapanku.
"Mau makan apa?" tanyaku sambil menuruni tangga sedangkan Papah sudah lebih dulu berada dibawah.
"Apa aja deh yang penting papah makan. Kamu kan tau kalo nggak sarapan maag papah langsung kambuh." ujarnya.
Setelah mengantongi uang, aku menguncir rambutku dan sedikit merapihkannya dengan tangan lalu segera keluar. Aku mengambil jalan kekanan mengandalkan instingku, karna aku tidak tau dimana aku bisa menemukan penjual sarapan jadi aku mencoba mencarinya saja.
Udara dikomplek ini sangat segar dipagi hari, walau bukan komplek elit tapi banyaknya pepohonan disana-sini membuatnya menjadi sejuk. Aku menengok kekanan-kiri mencari tukang jualan. Namun sampai aku berjalan cukup jauh aku tidak menemukan apa-apa.
Aku mengelilingi pandanganku mencoba mencari seseorang untuk kutanyai tapi hasilnya nihil.
Mungkin harusnya tadi aku kekiri, pikirku. Akupun memilih berbalik dan pada saat itu juga sebuah motor muncul dari tikungan didepanku yang berjalan dengan kecepatan yang cukup tinggi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lovtangle
Teen FictionARKA POV Aku sudah berjanji akan selalu menjaga dia. Tapi kini dia memilih orang lain untuk menjaganya. Apa yang bisa aku lakukan selain ikut bahagia untuknya? Aku sangat menyayanginya, atau mungkin lebih dari itu? DINDA POV Aku merindukannya, aku b...