1. Who is He?

143 44 58
                                    


Hello, readers! Welcome back to my story! Hahaha 🌈
Ini aku unpublish pagi ini, terus aku publish ulang di pagi ini juga, wkwk. Tanpa ada yang kuganti kecuali typo💞

Re-publish: Minggu, 7 November 2021
Tanggal publish pertama ada di bawah.

Aku memutuskan melanjutkan cerita ini. Kasihan yang sudah menunggu sampai kabur ke lapak orang dulu, wkwk🧕🏻

Oya, enaknya pakai cuplikan (quote) di awal ngga ya untuk menarik perhatian?

Kalau engga, next aku hapus.

Votenya ya Kakak ... terima kasih





"Mama bersama orang lain yang tidak pernah kukenal sebelumnya. Siapapun itu, yang jelas bukan Papa, alias mantan suami Mama."

Pagi masih bersembunyi di balik jendela yang belum terbuka. Wajahnya menyembul di celah dedaunan basah dengan ranting yang teratur mengetuk kenang yang kerontang. Sunyi barangkali masih mengendap dalam ruang tanpa raung. Seperti hatinya yang menyendu. Menyeduh pagi bukanlah cara terbaik mengalihkan pikiran daripada menunggu kehadiran seseorang.

Tania menatap kursi kosong di depannya. Mungkin saja wanita itu memang kembali ingkar janji. Untuk pulang setiap akhir pekan.

Matanya menatap punggung Bi Minah berbalut daster selutut yang Tania yakin pasti sudah bau bawang. Gadis itu menatap punggung Bi Minah seolah punggung itu adalah punggung Mama. Sosok yang sangat diharapkan kehadirannya oleh Tania saat ini. Seseorang yang seharusnya duduk di depannya, menggantikan pemandangan kursi kosong dengan sejuta harap tak sampai.

Sarah, mamanya, bekerja sebagai pemilik butik bertempat di salah satu daerah di Yogyakarta. Tiga tahun terakhir wanita itu membeli sebuah apartemen di dekat butik tempatnya bekerja. Alasannya pekerjaannya semakin menumpuk dan jadi sering lembur. Alhasil, terlalu sulit untuk bisa pulang ke rumah setiap hari. Padahal jarak rumah dengan tempat Mama bekerja tidak terlampau begitu jauh. Bahkan hampir tidak masuk akal dalam perhitungan Tania jika Mama sampai membeli apartemen.

Awalnya, Mama sering sekali pulang ke rumah. Kemudian merenggang pulang setiap akhir pekan, kemudian sekarang jarang pulang. Alasannya masih sama. Pekerjaan yang semakin menerjang. Seolah datangnya seperti banjir berkecepatan sepuluh kilometer per jam.

"Bi Nah ... aku berangkat dulu ya? Masak tumis kangkung aja hari ini, siapa tahu Mama pulang."

Langkahnya tergesa menuju pintu depan. Jawaban asisten rumah tangganya itu dibiarkan saja menguap di awang-awang.

"Wiiiinnn ... berangkat yuukkk!!!" Gadis itu berlari memasuki halaman rumah di sebelah rumahnya. Tanpa permisi mendorong pintu depan dan masuk begitu saja.

"Loh Bun, kok belum siap? Hari ini kan pengambilan rapor?" Tania mencomot kue di meja makan.

"Bunda nanti nyusul aja, masih harus mampir sanggar dulu. Kamu berangkat duluan aja sama Darwin ya?" Wanita bernama Miranda, ibu dari sahabatnya itu nampak sibuk dengan alat riasnya.

"Siap Bun ... beres."

"Yuk, berangkat." Darwin menuruni tangga sambil merapikan seragamnya.

Tania pikir hari ini ia akan lebih mudah membujuk Mama untuk mengambil rapornya. Tapi ternyata teleponnya tidak dijawab juga. Pagi masih terlalu muda untuk mengeluhkan banyak hal. Jadilah gadis itu bersandar pada tiang selasar di depan kelas, memaksa keluhnya hanya keluar dari embusan napas tertahan.

Not My World [1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang