-dua.

26 5 0
                                    

"Ibaratnya gini, lo selalu bilang Tuhan jahat karena masalah masalah yang ada di hidup lo, tapi ujung-ujungnya kalau lo bener-bener ngerasa ga berdaya lo tetep nyari Tuhan kan?"

Nara mengusap keringat yang bercucuran di atas alis tebalnya, bukan cuma di wajah, kini bagian belakang bajunya pun menjipak keringat di punggung mungilnya.

Dengan cepat namun pasti, seperti biasanya Nara berjalan melewati banyak pasang mata yang menatap ke arahnya.

Nara gak bakal pernah punya orang kebanggaan lagi, yang selalu jalan di sampingnya, jadi tameng atau apalah itu dan seharusnya, orang-orang inipun gak perlu bersikap kaya gitu lagi ke Nara.

Melihatnya, seakan akan meng—agungkan.

atau Nara salah?

Lebih baik Nara gak tau, karena gadis seperti Nara ini gak mau terlihat menyedihkan.

Sekarang, Nara cuma punya dirinya, Dirinya yang sangat yakin kalau apa yang udah selama ini dia pertahanin gak bakal runtuh lagi.

Nara tau, dia itu definisi orang munafik. Memaksa dirinya membopong beban besar di pundak, namun terus berkata tidak apa-apa, padahal aslinya kalau bisa pengen menyerah.

"Kemana yang lain? kali ini gak ada kompensasi."

Semua orang tau, Nara ini kating yang nggak main-main, keliatannya dingin dan gak bersahabat. Meski Nara sering mengekspresikan dirinya dalam diam, Nara nggak pernah sejahat itu, tergantung situasi aja.

"Maaf kak, t-tapi kan."

"Ga pake tapi-tapi lah, biasanya juga dir—" Ucapan Nara tertahan, disusul dengan runtutan saliva yang di telannya.

Nara terduduk lesu, di detik selanjut ia pun menutup matanya sembari menarik nafas dalam-dalam.

"Gue gamau tau, semuanya, sekarang."

"Kak."

Belum lagi selesai perkataan lawan bicaranya ini, Nara lantas kesal dan meninggikan suaranya " GUE GAMAU TAU LAH! LO BISA NGEDENGERIN DIRGA KENAPA GUE ENGGA!"

"DENARA!"

Nara tersentak kaget, mendengar seseorang meneriaki namanya begitu, auranya lebih seram dan lebih marah lagi, di bandingkan dia barusan.

Nara memalingkan wajahnya, memberi isyarat bahwa ia malas dengan kedatangan orang ini.

"Kamu boleh pulang, maaf ya."

berengsek.

Anak itu satu-satunya orang yang mau datang kesini setelah permintaan Nara di aplikasi line tadi, tapi orang ini, dengan gampang nya mempersilakan pulang begitu saja.

Nara dapat mendengar namanya di panggil pelan "Nara..." Namun ia tidak mau menjawab.

Jujur, Nara sudah lebih baik, bahkan dia hampir lupa jika sepertinya ada tragedi yang harus ia tangisi.

"lo nakutin kita semua Nara, tolong lah jangan kaya gini. Gua tau lo ga bisa nerima, gue tau lo hancur, lo sedih, lo — "

"Gue ga suka ada orang yang sok tau.  Lo bisa liat gue ga kenapa napa kan?jadi lo bisa pergi."

"Seenggaknya lo liat dia buat yang terakhir kali Nara, gue mohon."

"Mungkin terakhir buat lo, tapi bisa aja selamanya buat gue."

Seketika, keadaan menjadi hening. Sadar gak mendapat jawaban, Nara membalikkan badannya dan mendapati balasan perkataannya adalah senyuman.

Senyuman itu gak bisa Nara deskripsikan, yang Nara tau senyuman itu cuma di paksakan, karena manusia mana yang bisa tersenyum ikhlas dengan kepergian-kepergian yang menyakitkan?

"Dirga pasti bangga ngeliat lo, lo beneran jadi Denara. Denara yang Dirga siapin buat ngelawan kerasnya dunia. Dirga berhasil, seenggaknya ada satu tugas penting di dunia yang selesai dia laksanain."

Nara kalah, orang di hadapannya ini memang anjing.

Dan Nara bodoh, gak seharusnya dia bereaksi begini.

Sedikit demi sedikit, isakan Nara mulai terdengar, Nara menelungkupkan setengah badannya ke ubin yang kotor di iringi dengan kepalan tangannya yang memukul mukul.

Nara menangis, sesegukkan, menggiring orang-orang berdatangan karena tangisan Nara begitu besar.

Untuk sesaat, Dendika membiarkan Nara seperti itu, melepaskan apa yang sudah ia tahan-tahan. Walaupun gak memperbaiki apa-apa, Nara udah bisa jadi dirinya sendiri, dirinya yang di kuasi rasa duka yang mendalam.

sudah sepantasnya begitu.


24 Desember 2019.

AUDIRGA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang