"pe-pergi den."
Seratus persen, kekuatan Nara nggak ada lagi yang tersisa, bahkan untuk menangis pun rasanya Nara udah gak kuat.
Di sisi lain, Dendika masih setia berada disana, menemani Nara menuntaskan kesedihannya.
Bukan cuma Nara, kini, mata Dendikapun tengah berkaca kaca, hatinya juga ikut hancur, di kala menyaksikan temannya, yang kehilangan sahabat seperjuangannya, dari kecil.
"Gue suka Denara, jangan nanya alesan ya den, klise banget."
"Ga boleh dir asal suka doang, alesan ya pasti ada dong walau basi basi gimana hahaha."
"Nara beda, kebaca lah pasti sama lo."
"Tapi asik denger dari mulut lo lah, lo yang ngejelasin."
"Hahaha gue aja bingung den, rasanya udah lama banget engga, tapi pas ngeliat Nara, gimana ya, gue ga bisa ngasih diri gue istirahat buat berhenti ngejar."
"Spesifik dong."
"Nara itu..."
Dendika mendekat ke arah Nara, merengkuh bahu gadis itu dan mendekapnya.
"pergi, gue bilang pergi den."
Dengan sisa suaranya, Nara memohon kepada Dendika sambil menunjuk lemah ke arah pintu.
Nara meronta ronta dengan sekuat tenaga, tangisannya pecah dan upaya terakhirnya adalah membentak Dendika "DENDIKA PERGI! GUE BILANG PERGI DEN, PERGI!"
Namun, bukannya menjauh Dendika justru semakin mengeratkan pelukannya, memerangkap Nara agar tetap di sisinya.
"Na-nara." Iya, Dendika menangis. Isakannya membaur bersama Nara, disana, di ruangan itu dan disaksikan oleh banyak pasang mata.
"Gu-gue sakit den, sa-sakit."
Nara mencekram lengan Dendika kuat-kuat, seakan gak mau melepaskannya, Nara gak tau lagi mau melampiaskan ke hancuran dirinya dengan cara seperti apa.
Siang itu, langit yang cerah gemilang dengan terik yang menyengat, di ganti hujan lebat di susul petir bergantian.
Langit seolah tau, langit seolah ikut bicara, langit seolah ikut turun tangan.
Sesaat setelah tangisan Dendika melewati kuping Nara, Nara seakan dapat dorongan untuk benar-benar mengeluarkan sembilu yang tanpa aba-aba menancap di hatinya.
"Kita gak akan pernah bisa nebak hidup, entah hari ini atau besok. Makanya gue selalu bilang buat bersyukur aja, jalanin hari ini sebahagia mungkin. Barangkali besok ada kesakitan kan kita gak tau, ya intinya hari ini kita taunya baik-baik aja. Gitu."
Apapun tentang perkataan Dirga, gak mungkin Nara lupa.
Kemarin gue udah baik-baik aja, jadi hari ini kesakitan itu datang. Lo harus tau Dirga, satu perkataan lo sekarang terealisasi di hidup gue.
Tangisan Nara berangsur angsur mereda, berbanding terbalik dengan perasaanya yang udah gak jelas bentuknya seperti apa, pelan-pelan cengkraman Nara pun terlepas, tatapan mata Nara kosong.
Nyatanya sekuat apapun Nara menangis, itu gak bisa mengurangi apa-apa, yang ada ia terus di geluti perasaan takut, kalau-kalau Dirga sehabis ini beneran pergi, selamanya dari hidup Denara.
"Udah Nara? kita pergi ya?"
"ke-kemana?"
"antar dirga menyambut surga."
—
24 Desember 2019.

KAMU SEDANG MEMBACA
AUDIRGA
Teen Fiction"Kalau gue kehilangan Dirga, sama aja gue kehilangan mata dan telinga. Gue gak bisa melihat apapun yang terang, selain gelap gulita. Gue gak bisa mendengar apapun yang indah kecuali cuman dengungan. Semuanya mati, dunia gue mati. Gak ada lagi yang n...