-sepuluh.

7 2 0
                                    

Line

Ibu
Selamat natal rara...
Sudah pulang gereja
kan? Kalau ada waktu,
pulang ya, gak musti
kok, kalau gak bisa
lain waktu aja...miss you
💚

Nanar. Satu kata yang bisa menggambarkan tatapan Nara saat ini.

Semalam, Nara sama sekali nggak bisa berhenti menangis. Kepalanya pusing bukan main, kalau bukan karena bantuan obat tidur yang Nara masih ingat letaknya, mungkin dia gak akan bangun sesiang ini.

Jam setengah empat dini hari tadi, kos-kosan Nara mulai ramai lagi, saut-sautan terdengar dari luar, meneriakkan nama Nara kencang-kencang untuk tau sebenarnya Nara sedang apa.

Mereka yang pulang untuk tidur rupanya malah di hantui rasa penasaran.

Bahkan di sisa-sisa suaranyapun, walau parau Nara masih sanggup sesegukan.

Di pandangnya foto Dirga dalam-dalam.

"Dir....tolong jangan pergi dir. Aku gak bisa dir, aku gak siap. A-aku...Sa-sakit Dirga."

Detik demi detik berlalu, tapi Nara gak bisa percaya, kepergian Dirga yang secepat itu sama sekali gak bisa di terima.

Dirga terlalu segalanya buat Nara, gak mungkin Dirga pergi begitu aja tanpa mengucapkan sepatah kata.

Nara tersesat tetapi selalu selamat karena Dirga, kali ini pertolongan akan datang dari mana? Dirganya telah hilang.

Nara menatap hampa langit-langit kamarnya. Sakit di dadanya datang bertubi tubi, gak kunjung reda bahkan sampai pagi ini.

——

23 Desember 2019

18.12

Entah kapan terakhir kali Nara berpakaian sefeminim ini, dandanannya pun sedikit menor tidak seperti biasanya.

Nara menatap lekat arloji coklat di pergelangan tangannya, selama menunggu Audirga, kali ini adalah yang paling lama.

Nara duduk di aula taman gak jauh dari kos-kosan sembari membuka room chat Dirga sesekali.

Masih tidak ada kabar, terakhir kali Nara cuma sempat berkata hati-hati, setelahnya gak ada balasan lagi.

Line

Dirga
Jangan cantik-cantik ra.

Nara
Bawel, di luar hujan lebat ga,
bawa mobil pelan-pelan.

Dirga
Tau, bilang gaga ganteng
dulu lah, biar selamat sampai
tujuan.

Nara
Bercanda nya lucu ga,
hati-hati.

Nara tau ada yang janggal, sejam sudah Nara menunggu dan hujan juga udah gak turun. Pelan-pelan dingin menyusup masuk ke tubuh Nara, membawanya berfikir untuk 'barangkali Dirga ada urusan' ya jadi apa boleh buat, lebih baik mungkin emang Nara balik lagi aja.

Meski berusaha bohong, perasaan Nara emang se-enggak enak itu. Nara gak mau berpikir jauh apalagi sampai berfikir kalau ternyata Dirga kenapa napa.

Dirga itu orangnya sangat tepat janji, sesibuk apapun pasti sempet-sempet ngabarin.

Gak sadar, Nara udah sampai di pagar kos-kosan. Manik mata Nara jatuh pada satu-satunya mobil yang menurut Nara sangat familiar.

Sera?

"Sera!" Nara berseru dari jauh, namun seruannya itu gak sampai terdengar mereka, mereka yang lagi berkumpul gak tau atas dasar apa.

Nara lihat Sera gak sendiri, melainkan sama Jean dan antek-antek mbak Duwi di pelantar kos-kosan.

Sepertinya batin Nara benar, ada sesuatu yang terjadi sampai-sampai Jean berkeringat dingin padahal hanya berdiri.

Nara menilik orang-orang itu yang mukanya jelas-jelas sedang panik. Sera yang menggigit ibu jarinya, dan muka-muka tegang orang di sekelilingnya.

Dapat di lihat, Jean menepuk pelan kedua bahu Sera sebagai bantuan untuk menenangkan.

Seketika jantung Nara berpacu cepat, memicu ketakutannya barangkali yang dia pikirkan benar. Di lain sisi, Jean berusaha merengkuh sakunya, mengambil sebuah ponsel untuk—

menghubungi Nara.

Kebetulan ponsel Nara gak di atur  hening, sehingga saat panggilan itu masuk, suaranya begitu nyaring.

Mereka yang tadinya sibuk dengan pikiran masing-masing, seketika menatap berbalik arah, menghadap Nara yang berusaha mengatur nafas.

"Na-ra."

Suara Sera terbata-bata, fisiknya seperti habis melewati terpaan badai, lemah. Nara mengartikan tatapan Sera yang berkaca kaca sebagai pertanda yang buruk.

Nara melangkahkan kakinya perlahan, memastikan bahwa keinginannya ini benar lantas Nara bertanya "Sera? Kenapa?"

Dalam sepersekian detik, orang-orang ini menatap Nara penuh duka dan tatapan iba di iringi dengan tangisan Sera yang tiba-tiba pecah, kemudian merengkuh Nara untuk masuk dalam dekapannya.

"Di-dirga ra...Dirga."

Air mata Nara seperti mau turun, Nara melepaskan pelukan itu. Rasanya sakit, padahal entah apa yang terjadi sebenarnya "kenapa Dirga?"

Badan Nara berubah beku di topang kakinya yang lemas.

Please ga.

"Dirga kecelakaan...."

——

AUDIRGA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang