"Puluhan warga kini tengah memadati lokasi kejadian dimana terjadi kecelakaan beruntun yang menewaskan tiga orang. Satu di antaranya adalah seorang mahasiswa yang di nyatakan meninggal dunia saat perjalanan menuju rumah sakit sekitar pukul tujuh malam tadi."
Kabar kecelakaan terus bermunculan, memenuhi media pemberitaan, sampai menjadi perbincangan di media sosial.
Ucapan bela sungkawa berdatangan dari berbagai kalangan. Banyak orang memanjatkan doa untuk yang baru saja berpulang dan juga untuk orang-orang yang masih bernafas di unit gawat darurat.
Nara merasakan nyawanya ikut melayang, menyisakan raganya hanya dengan sedikit kesadaran.
Suara isakan dari keluarga dan sanak saudara korban memenuhi kepala Nara.
Nara gak tau harus menanggapinya dengan seperti apa, badannya bergetar hebat, merangsang air matanya untuk terjun lebih bebas.
Nara menangkup wajahnya, mengusap keningnya dengan gusar.
Audirga baru saja melintasi dirinya, dia terbaring tidak bernyawa di ranjang berjalan itu, hampir sekujur badannya di tutupi kain putih yang hanya menyisakan sedikit wajah berlumuran cairan merah. Kepergian Dirga yang di tuntun tim medis di iringi dengan ketidak ikhlasan ibu dan ayah Dirga.
Perlahan Nara memundurkan langkahnya, menggeleng lemah menatap kehilangan Dirga dari pandangannya.
"Enggak ga, enggak mungkin. Ini bohong kan?"
Jean terkulai lemas di samping Sera yang mengalihkan pandangannya. Enggak ada yang berani menyaksikan kehancuran Denara karena yang lain pun juga sama kehilanganny. Tapi Dendika, pikirnya, untuk kuat mereka harus bersama-sama.
Dendika mendekat ke arah Nara, memegang kedua bahu gadis itu untuk memberikan sedikit kekuatan yang ia punya.
"Dirga pergi ra..."
Pergi.
——
2020
Memasuki tahun ajaran baru, gak banyak yang berubah selain perilaku Denara yang kembali seperti dulu.
Cenderung gak mau di ganggu. Bedanya, gak ada Nara yang jalan membusungkan dada atau yang paling serem tatapan matanya.
Datang ke kampus hanya seperlunya aja, kebanyakan duduk tanpa mau ngelakuin apa-apa.
Dalam berbagai kesempatan, Dendika gak pernah menyerah untuk ngajak Nara bicara, walau ujungnya pasti berakhir dengan sia-sia.
Bagi Nara, gak semudah itu untuk mengikhlaskan kepergian Dirga, walau setiap ditanya kenapa jawabannya selalu gakpapa.
"Ra, gue anter ya?"
Sejak malam itu, Dendika atau yang lain sama sekali gak pernah liat Nara mengumbar senyum. Kalau di panggil udah pasti gak noleh, entah pura-pura tuli atau karena isi kepalanya yang memang hampir kosong.
Nara milih jalan terus, membelah kerumunan mahasiswa yang tengah sibuk menatap mading di depan ruang himpunan, sembari di ikuti Dendika diam-diam dari belakang.
Tepat pada apa yang di lihatnya, Nara memberhentikan langkahnya tiba-tiba.
Audirga.
Jelas Audirga udah gak ada, tapi gak ada satu sisi pun di tempat ini yang bukan tentang Audirga.
"Kami selaku rekan kerja sekaligus teman baik turut berduka cita atas berpulangnya Pradiptama Audirga ketua kami."
Untuk yang pertama kali, Nara mau baca mading dengan benar-benar. Membiarkan dirinya lama di sana dan hanyut dalam banyaknya tulisan mendoakan perjalan Audirga agar sampai di sisi paling layak sang maha kuasa.
"Selamat jalan ka Dirga."
"Semoga tenang disisinya ya ga."
"Maaf ga, maaf belum bisa jadi teman yang baik, selamat jalan ga."
"Gue gak bakal lupa sama lo Dirga, yang tenang bro."
Nara menangis di saat dirinya sampai pada suatu hal yang selalu ia doakan, Nara gak bisa bohong kalau ternyata dia sehancur itu. Nara bahkan gak perduli kalau sekarang dia lagi jadi tontonan orang lain. Nara gak tau, gaktau seberapa lama lagi dia bisa tahan untuk berkali kali jatuh dan menangis.
"Sampai jumpa di kehidupan yang lain Dirga."
Semoga.
——
KAMU SEDANG MEMBACA
AUDIRGA
Teen Fiction"Kalau gue kehilangan Dirga, sama aja gue kehilangan mata dan telinga. Gue gak bisa melihat apapun yang terang, selain gelap gulita. Gue gak bisa mendengar apapun yang indah kecuali cuman dengungan. Semuanya mati, dunia gue mati. Gak ada lagi yang n...