0,5

20 4 2
                                    

0,5
(Fiksi Mini)
Oleh tsabitalaiv
_____________________________


"Jangan menangis! Anak lelaki tidak boleh cengeng."

"Bangun! Kamu tidak boleh selemah ini."

Mahesa tersentak dari tidurnya dengan napas terengah, serta keringat membasahi dahi. Dilihatnya jam digital di atas nakas, 05.30 pagi. Mahesa bersiap. Agenda hari ini masihlah sama; sekolah, les matematika, latihan berenang dan mengerjakan Pekerjaan Rumah pada sisa harinya sebelum tidur.

Cupu, kutu buku, berkaca mata tebal dan tidak pandai olahraga bukanlah definisi dari seorang Mahesa. Tak ada yang cacat dalam penampilan fisik, akademik maupun non akademik dari dirinya. Tak ada yang tak mengenalnya di sekolah, dan itu menjadi kebanggaan tersendiri untuk sang ayah.

"Mahesa!"

Gadis berkucir kuda menghadang langkah Mahesa. "Nilai ulangan matematika minggu lalu udah keluar. Tanda tangan dulu, yuk."

Mahesa bahkan belum merespon apa pun, Rania sudah menarik tangannya ke kelas. Di meja guru, terdapat selembar kertas HVS berisi nama murid kelas 12-1 beserta kolom nilai dan tanda tangan. Mahesa mencari namanya. Jemarinya berhenti sejenak di nilai 99,5. Itu adalah nilai tertinggi di antara teman-temannya.

Tepukan selamat dari teman-teman sekelasnya menyentak Mahesa dari sebersit ilusi. Pemuda itu tersenyum ramah seperti biasa. Mahesa yang sempurna. Begitulah kata mereka.

Pukul enam sore, Mahesa baru tiba di rumah. Langkahnya terhenti oleh penampakan mobil sang ayah di depan rumah. Helaan napas panjang keluar begitu saja. "Sore, Pa."

Pandangan Raldo sedatar biasanya. Namun, sarat akan ancaman. "Belajarlah lebih baik."

Kakinya serasa dipaku. Kendali jantungnya berpacu, dan sekujur tubuhnya mulai bergetar. Berbagai emosi berkecamuk dalam dirinya. Namun, Mahesa kesulitan dalam menyampaikannya.

"Iya, Pa." Hanya kalimat itu yang bisa keluar dari mulutnya.

Mahesa membawa langkahnya ke kamar. Meletakkan tas sekolah dan pergi ke kamar mandi. Dinyalakannya shower air panas. Tanpa menanggalkan seragam yang masih melekat di tubuhnya, pemuda itu berdiri di bawah guyuran air tersebut. Diam, hanya diam. Uap panas mulai menyebar pada kaca shower box yang mengelilinginya. 44 derajat.

Panas. Meski begitu, tak ada keinginan untuk berhenti. Detik selanjutnya, rasa menyengat itu berubah menjadi rasa nyaman. Semakin lama dirinya mulai merasakan kelegaan. Rasa sakit tidak menyenangkan itu berubah menjadi rasa tenang. Sorot matanya menyampaikan dimensi gelap tak berujung, hampa.

"Papa ... itu hanya 0,5," bisiknya.

🚿🚿🚿

STF 30 Day Writing ChallengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang