DOR!

12 2 0
                                    

DOR!
(Fiksi mini)
Oleh : tsabitalaiv
________________________________

Cantik.

Rasa menggelitik memenuhi rongga dada. Mataku terpaku pada sebuah notifikasi. Jemari mulai bingung bagaimana harus menjawabnya. Hingga beberapa menit, notifikasi lanjutan menyusul.

Ketemuan, yuk!

DOR!

Jika tadi rasa menyenangkan itu menyerupai percikan kembang api, saat ini kembang api itu justru berubah menjadi bom bunuh diri. Kendali jantungku mulai tak stabil, kakiku bergerak gelisah. Kamar seluas 3x3 meter ini terasa lebih sempit.

Ini adalah ajakan ke sekian dari Rio. Namun, efeknya masihlah sama, membuat kelimpungan. Menghela napas panjang, kuambil kembali ponsel yang masih menyala di tempat yang sama, line.

Jika sudah nyaman di dunia maya, mengapa harus menjamah ke dunia nyata? Rasa amanku hanya sebatas ini. Berbagai spekulasi terus bermunculan di kepala. Kemungkinan terburuk Rio takkan lagi bersikap sama, memicu keberanianku yang hanya sebesar 20%.

______________________________

Aku takut kamu kecewa.

Kenapa harus?

Aku tidak secantik itu.

Kita harus bertemu.

__________________________

***

Pukul sepuluh pagi, kafe Animo, di meja nomor lima, pemuda itu menunggu. Dari belakang, ini adalah layar terbaikku melihatnya langsung. Kakiku masih terpaku di depan pintu masuk cafe. Denyut yang kupikir mampu kukendalikan mulai bergerak tak stabil. Rasanya lebih menegangkan daripada berdiri di depan kelas pelajaran matematika.

Bisikan untuk menyembunyikan diri dan berlari kembali ke rumah mulai menggema. Namun, penolakan akan ide tolol itu pun menyahut galak. Seperti manusia yang lupa caranya berjalan, kakiku masihlah enggan melangkah. "Mbak kenapa?"

Suara pramusaji bagaikan hakim yang baru saja mengetukkan palu pada tersangka. Kupegang dadaku sejenak, menenangkannya dari berbagai aktivitas rumit otakku. "Nggak papa, Mas."

Tidak ada pilihan, kupaksakan kakiku melangkah ke arah meja nomor lima. Satu langkah, aku tidak apa-apa. Tiga langkah, kakiku mulai memelan. Lima langkah, jantungku semakin ingin meledak. Hingga sampai pada langkah ke sepuluh, aku sampai dengan sisa kewarasan yang mungkin hanya sekian persen.

Aku berdiri, diam di belakangnya. Kupikir, aku hanya akan berdiri di sini saja hingga menit berlalu. Namun, Rio membalikkan badan pada detik ke lima setelah niatku menjadi patung di belakangnya. Pandangannya menelisik, meski masih terbilang sopan, tetap saja aku ingin menyembunyikan diri saat ini juga.

"Malaika."

"K-kak Rio."

"Kamu ... ngapain berdiri di sini? Nggak mau duduk?"

Senyumnya membuat urat maluku di batas gila. Jika di balik layar, pasti sudah kunikmati lama-lama sambil berguling-guling di kamar. Namun, yang kulakukan kali ini hanya menundukkan pandangan seperti anak SMP.

Duduk di hadapannya seperti ini adalah hal yang seharusnya dirayakan. Dengan tidak menyia-nyiakan waktu bersama, misal. Namun, yang kulakukan hanya membisu.

"Kenapa diem? Di chat kamu berisik banget, loh!"

Aku tersenyum, menggeleng.

"Aku pikir kamu bohong saat bilang tinggimu 149 senti."

Senyumku mulai memudar. Selain tinggi badanku terbilang mini, aku juga memiliki kulit sawo matang. Dua bagian itu yang selalu membuatku tak nyaman semenjak pubertas. Penampilan di media sosial sangat bisa menipu. Jadi, apakah kali ini aku adalah salah satunya?

"Kamu kecewa?"

"Enggak."

"Aku ga secantik itu, kan?"

Tak ada sahutan hingga beberapa saat. Kuberanikan diri memandangnya, tepat pada kedua manik hitam itu, pantulan gadis berambut panjang berada di dalamnya. Tak ada kata, tak ada aksi. Kami menyepi. Mungkin dia sedang mengamati, atau mulai membenarkan tuduhanku. Namun, yang pasti, aku justru tersesat di dalamnya.

"Masihlah cantik," bisiknya.

Matahari boleh mendengki jika detik ini Rio adalah poros duniaku. Semakin lama kami berbincang, rasa rendah diri mulai memudar. Kenyamanan yang ada saat kami berkomunikasi lewat dunia maya, mulai mengambil alih perannya.

"Terima kasih untuk hari ini. Semoga kamu ga nyesel udah mau ketemu sama aku," ucap Rio di akhir perjumpaan kami.

Dalam dunia nyata, terkadang ada fakta yang suka berperan jahat pada sebuah ekspektasi. Kendati demikian, hal jujur itulah yang pada akhirnya akan menuai dalam bentuk rasa percaya diri. Tidak ada yang salah dengan berkulit gelap. Pun juga dengan tinggi badan yang tak semampai. Jadi, mengapa harus bersembunyi di balik dunia maya saat dunia nyata yang lebih bisa disentuh sedang menunggu?

🍃🍃🍃

STF 30 Day Writing ChallengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang