Esensi Kehidupan Fana

24 3 0
                                    

"Bangun! Cepat pergi sarapan. Perjalanan akan kita lanjutkan sebentar lagi." Tubuhku tersentak ketika porter Aisyah--si Bongsor--nyelonong masuk ke tenda kami. Aisyah langsung terburu-buru mengenakan jilbabnya sesaat sebelum si Bongsor masuk.

Di saat itu juga, aku langsung mengganti pakaian--tidak mandi--kemudian pergi ke luar tenda untuk membasuh wajah. 

Di Kamp 1 ini, berbagai rombongan pendaki berkumpul padu menjadi satu. Perapian yang terbuat dari kayu kering yang dibakar, terlihat menerangi waktu subuh. Matahari belum terbit, itu sebabnya orang-orang masih bisa berleha-leha di tenda masing-masing. Karena setelah matahari menunjukkan eksistensinya, di saat itu juga pendakian yang penuh perjuangan kembali dilanjutkan.

"Sa, sini gabung!" tegur Aisyah yang sudah berkumpul bersama Alma dan Agra, juga para porter kami masing-masing--termasuk Kak Yewen.

Aku menuruti teguran Aisyah, kemudian berlari kecil menuju mereka. Aku duduk di sebelah Aisyah, Aisyah bersebelahan dengan Alma kemudian diakhiri oleh Agra. Sementara di hadapan kami duduk rapi keempat porter masing-masing--Kak Yewen, si Bongsor, si Kurus dan si Tegap. Para porter bagaikan pelayan kami yang siap membantu. Bagaimana tidak, bahkan sedari tadi mereka sudah mempersiapkan perapian ini, dan sekarang mereka juga yang mengupasi kulit ubi dan kentang untuk setelahnya dibakar.

"Baik, kalian makanlah yang cukup, persiapkan mental, karena untuk mencapai Kamp 2 sampai puncak, tantangan akan semakin berat," tegas Kak Yewen sembari menyodorkan makanan hasil bakaran yang masih mengepul.

"Kalau ada apa-apa, lapor pada kami, jangan ada yang disembunyikan," sambung si Kurus. Tubuh cungkringnya memperlihatkan betapa berurat tangan pemuda Timur itu.

Kemudian disusul oleh si Bongsor menunjuk ke arah Aisyah seraya menceletuk, "Dan kamu, kalau kondisi badan tidak enak, lapor ke kami. Sa lihat kondisi fisik kamu lemah." Aisyah mengangguk saja ketika diberi nasihat oleh sang porter.

Memang kemilau pagi belum terlihat di ujung dunia. Tapi sepertinya sebentar lagi dia akan "mengamuk"--menggantikan kesombongan bulan yang berpasukan ribuan bintang. Aroma sosis dan segala makanan yang dibakar, menyeruak ke penjuru Kamp 1. Kehangatan sementara dihasilkan oleh bara api yang menjilat-jilat. Aku rasa hari ini akan menjadi hari yang hangat, itu disebabkan oleh lanskap langit tanpa "embel-embel"--awan. Kosong melompong.

"Boleh saya bertanya?" Agra mengangkat dan memperlihatkan telapak tangan kanannya. Ketika si Tegap mempersilakan dia untuk mengutarakan pendapat, dengan sekelebat dia mengajukan pertanyaannya. "Dari buku yang masih setengah saya baca, katanya di Puncak Carstensz Pyramid banyak ditemukan fosil hewan laut, bagaimana bisa itu terjadi?"

Ah ... aku tahu ke mana arah pembicaraan si tukang mikir ini. Tapi pertanyaan yang dilontarkan cukup membuatku terkejut. Bahkan aku baru tahu di atas sana--Puncak Jaya--Puncak Carstensz Pyramid--banyak ditemukan fosil hewan laut. Bagaimana bisa? Loh, kenapa aku jadi ikut-ikutan bertanya kritis.

Si Tegap menyilakan duduknya, kemudian berceloteh panjang kali lebar, "Konon, dahulu Carstenz Pyramid bukan berupa puncak gunung, melainkan dasar laut. Seiring dengan terpecahnya Papua dengan Benua Australia, gesekan lempeng bumi membuat tanah ini terdorong ke atas dan menjadikan dasarnya menjadi puncak. Peristiwa yang terjadi ratusan tahun silam inilah yang membuat kita bisa menemukan banyak fosil kerang di Puncak Jaya."

Aku terperangah mendengar penjelasan itu. Bagaimana bisa puncak setinggi itu dulunya adalah dasar laut? Walaupun sudah dijelaskan, tetap saja otakku yang tersumbat ubi bakar sulit memahaminya. 

Daripada aku pusing memikirkan fosil, mending aku mencari perbedaan antara salah dua dari empat porter. Persamaan si Tegap dan si Bongsor adalah sama-sama berbadan tambun. Namun perbedaan keduanya ada di ciri fisik: si Bongsor berkepala pelontos, berperut buncit, kumisnya merambat menjadi janggut, dan ketika dia menundukkan kepala, tampak tembolok leher yang berlipat-lipat. Sementara si Tegap punya badan yang berisi, lemak dan ototnya menyebar secara merata di seluruh tubuh. Rahangnya juga tampak gahar dengan picingan mata tajam.

Olm: Osa Si Salamander [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang