Terima Kasih, Aisyah

15 3 0
                                    

Seperti yang sudah disampaikan oleh Kak Yewen selaku pemimpin. Hari ini ditargetkan kami akan tiba di Kamp 2.

Sudah 8 hari ekspedisi menuju Carstensz Pyramid kami lalui. Puncak-puncak bersalju sudah mulai kelihatan di atas sana, namun belum bisa kami rasakan. Kawah-kawah tebing berbatu yang kering masih menemani perjalanan. Tidak ada candaan, tidak ada senyum kegembiraan, semua itu sudah sirna tertelan kejenuhan, kepenatan, hingga kebosanan bebatuan yang menjadi panorama satu-satunya. Monoton.

"Kita naik sedikit ke sana, dan akan sampai di Kamp 2," Kak Yewen menunjuk tebing di hadapan menggunakan trekking pole. Tampak dari bawah sini pamflet besar bertuliskan "Kamp 2| 2.000 mdpl" teronggok tegas bersama bendera sang Saka Merah Putih.

"Hufftt ...." Semuanya menghela napas panjang. Penantian hanya untuk mencapai kamp yang berjalan lama pun akhirnya terwujud. Beberapa pendaki juga sibuk mendahulukan rombongan demi cepat-cepat sampai Kamp 2 untuk beristirahat.

Aku menoleh ke belakang. Orang-orang yang berseliweran membuat pandanganku terhadap seseorang yang berjongkok di ujung sana terhalang. kemudian setelah rombongan sepi, baru aku bisa melihat dengan jelas Aisyah yang sibuk memegangi dadanya dengan raut seperti menahan sakit. Aku berlari, beberapa kali kacamata yang kugunakan sedikit kendor, lalu aku atur supaya pas di batang hidung. "Cha, jangan sekarang. Buruan kita ke kamp, nanti ketahuan porter kalau kondisi lo begini." Kepalaku mengawasi sekitar untuk memastikan tidak ada kehadiran porter dan leader di sini.

"Se-sebentar, Sa ..." Suara Aisyah menjadi sedikit sengau dan serak. "Dada gue se-sesak banget. Astaghfirullah ...."

Tidak bisa kubiarkan kami terus-terusan di sini. Para pendaki sudah sampai di Kamp 2. Tinggal kami berdua dan seorang sweeper yang sibuk "menyapu" jalan—memastikan tidak ada barang pendaki yang jatuh.

Aku menarik tangan Aisyah, menuntunnya perlahan-lahan sampai ke kamp.

~~~~~

Kepulan antara asap dalam semangkuk mie dengan embusan hawa napas berpadu menjadi satu. Perutku nyaman rasanya diisi oleh makanan panas yang menjadi hangat di kondisi cuaca seperti ini.

Di dalam ruangan sepetak yang bermaterial kayu, aku duduk di salah satu kursinya yang menghadap langsung ke kawah berkabut. Kawah itu menganga bagai meminta korban untuk bayaran karena banyak orang yang sudah seenaknya menginjakkan kaki di tempat itu.

Kembali aku menerawang ke langit luas—melihat Puncak Carstensz Pyramid yang masih bertengger agung di sana. Gundukan salju sudah tampak dari bawah sini, walau belum bisa dirasakan oleh indra.

Brak! Lamunanku pecah ketika seorang perempuan berkulit eksotis memasuki ruangan dengan tergopoh-gopoh. Lantai ruangan yang hanya dialasi kayu lapuk, berdebam kencang ketika dia tepat menghadapku.

"Ada seseorang yang kejang-kejang di dalam kemah!!" Aku baru menyadari orang itu, dia adalah perempuan dari Kota Manokwari yang menumpang di tendaku.

Semua orang yang ada di ruangan reot itu mendadak terperangah. beberapa saat tidak ada yang merespon sampai akhirnya perempuan itu menarikku. Mie yang baru sesuap aku makan, aku tinggalkan menyendiri tak bertuan.

Kami keluar dari ruangan, berlari kecil membabat habis jalanan terjal. Hingga sampai di lahan tempat kami membangun tenda, aku melihat Kak Yewen sedang berjalan menyusuri tenda-tenda milik pendaki lain. "Cepat!" Bentak perempuan itu menyuruhku untuk segera masuk ke dalam tenda kami.

Terlihatlah seorang perempuan yang tampak kejang dalam dekapan selimut tebalnya. Aku mendekat, kemudian baru menyadari kalau orang itu adalah Aisyah.

"A-Aisyah!? Lo kenapa?" Aku memegang tangan Aisyah. Dia tidak demam, tubuhnya amat sangat dingin seperti es. Kemudian punggung tanganku merambat menuju pipi pucatnya. Dia menggigil, bibirnya membiru dan gemetar.

Olm: Osa Si Salamander [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang