"Oh, pasti pindah vila. Udah gue duga itu." Suara datar itu seperti tidak asing di telinga. Tapi aneh, padahal gak ada orang di ruangan ini.
Aku menoleh ke sekeliling ruang televisi, mencari asal suara yang terdengar menyebalkan itu.
"Gue di sini, picek." Astaga! Si Nolep udah ada di sampingku. Tapi sejak kapan? Bukannya tadi aku baru saja duduk termenung di sini? Gak ada sesiapa dari tadi. Tiba-tiba saja anak ini berada tepat di samping kiriku--di atas sofa yang sama denganku.
Namun karena kegundahan hati, aku tidak begitu terkejut dengan kedatangannya secara tiba-tiba. Biasa saja. "Ishhh ... lo mending minggir jauh-jauh, jangan ganggu," ucapku merengek pada Agra yang selalu datang di saat yang tidak tepat. Contohnya saat aku berselisih paham dengan Papa tentang kuliah waktu itu, dia datang seenaknya saja di kosen jendela kamarku. Eh, tapi karena dia kan Papa akhirnya menyetujui permintaanku untuk gak kuliah. Tapi apa mungkin dia juga bisa mengembalikan pertemananku dengan Alma dan Aisyah?
"Ya udah gue cabut. Memangnya siapa juga yang mau ngurusin hidup lo yang ribet begini?" Dengan santainya dia melaluiku, menjauh, dan kemudian keluar dari vila sambil membawa buku bersampul hitam. Mungkin itu buku catatan, soalnya ada tulisan "Note Book" berwarna emas di permukaan sampulnya.
Sekarang sah sudah kesunyian menghantui suasana. Hanya terdengar suara jarum jam yang bertugas menjalankan waktu saja yang tersisa.
Hari ini sangat terik, padahal masih pagi. Desiran ombak pantai menerjang para turis yang berkeliaran di sana. Tampak beberapa turis sedang asik bercengkrama dengan beningnya air. Di sisi lain--di area putih nan lembutnya pasir, terdampar beberapa orang yang sedang merebahkan dirinya di atas tumpukkan pasir pantai. Mereka membiarkan tubuh mereka disengat mentari pagi. Sorak-sorai bahagia tersiar memecahkan suasana cerah hari itu.
Boring, padahal ini liburan, kenapa aku jadi galau-galauan begini?
Sial! Pikiran ini muncul kembali. Pikiran tentang diagnosa dokter padaku waktu itu, soal glaukoma yang akan membutakan mataku. Setiap aku terpuruk pasti dia terngiang di kepala. Jujur saja, aku belum siap satu juta persen untuk menghadapi itu semua. Tidak bisa melihat panorama indahnya alam terbuka lagi.
Harapan pertamaku untuk berlibur ke Raja Ampat memang sudah terwujud, tapi aku tidak puas. Tidak bahagia sedikit pun.
Orang-orang brengsek di sekitarku yang kukira akan banyak membantu malah menyusahkan saja. Karena merekalah aku tidak menikmati liburan ini. Lebih baik aku liburan sendiri. Solo Traveling, tapi sialnya Papa melarangku untuk liburan sendiri. Dia juga tidak bisa menemaniku seperti dulu kala. Sekarang tugas di kebunnya menumpuk.
Agra mau ke mana dia ya? Anak itu beberapa kali keluar sendiri tanpa ada seorang pun yang mengetahui ke mana tujuannya pergi. Aku jadi penasaran, apa aku telepon saja dia dan ikut pergi dengannya? Bolehlah.
Tuuut ... tuuut ....
"Halo, Gra. Lo di mana?" tanyaku dengan menjepit ponsel di antara pundak dan kuping. Sedangkan tanganku sibuk mencongkel-congkel kuku. Padahal aku baru saja potong kuku.
"Gue masih di garis pantai. Mau ke Misool Selatan," jawabnya dengan backsound ombak yang menggerutu. Gak begitu jelas.
"Gue ikut!!" Ponsel langsung kumatikan ketika dia bilang "Ya". Dengan bersicepat aku mempersiapkan diri. Topi dan baju pantai berwarna putih dan bercorak dedaunan hijau menjadi menjadi OOTD.
~~~~~
"Buat apa kita ke sana, Gra?" tanyaku yang sudah bersampingan dengan Agra.
"Mending ikut aja, jangan berisik," ucapnya lirih namun menusuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Olm: Osa Si Salamander [Selesai]
Chick-LitBercerita tentang perjuangan seorang gadis lulusan SMA yang harus menerima kenyataan pahit tentang penglihatannya yang perlahan membuta. Ia pengidap glaukoma. Kisahnya untuk mengejar harapan dengan menelusuri Bumi Timur Indonesia menjadi tantangan b...