Pilihan Hidup[Revisi]

52 16 0
                                    

Malam harinya setelah pembicaraan dengan Agra selesai, aku yang baru keluar dari kamar mandi langsung menuju kamar tidurku untuk segera berpakaian. Malam itu udara sejuk dan mencekam mengisi ragam dunia. Gorden jendela tersibak-sibak lasak seperti hatiku yang gelisah untuk mengutarakan keinginanku pada Papa.

Seusai berpakaian dan termenung sembari menyiapkan mental, aku putuskan untuk berbaur pada Papa menyiapkan hidangan malam. Terlihatlah pria yang menjadi Papa sekaligus Mama yang sedang sibuk mengerjakan sesuatu. Kudekati ia untuk membantu meringankan pekerjaannya. Aku mengaduk sup krim jagung di dalam panci atas kompor. Sesekali kutaburi sedikit garam untuk mempergurih cita rasanya. Kami tidak menggunakan penyedap atau MSG, hampir semuanya serba organik.

Papa sibuk memblender buah bit dan apel untuk dijadikan jus bloody mary. Tampak wajahnya yang lelah sehabis pulang dari kebun untuk menkoordinasi pegawainya yang bekerja di sana. Dia pria hebat.

Setelahnya seperti biasa, kami pun menyantap makan malam di atas meja makan kayu dengan peralatan makan juga serba kayu yang diperhalus. Kami bercengkrama, tertawa, dan kembali gembira. Aku mulai melupakan penyakitku. Hingga pada pembicaraan yang serius, wajahku kembali mendatar.

"Oh iya, kamu rencana mau kuliah di mana? Mau ambil jurusan apa?" Pertanyaan ini lagi yang sudah entah berapa kali Papa tanya padaku. Aku tersedak, mengubah mimik wajah seolah berkata, "Sial, pertanyaan bodoh ini lagi".

Aku semakin gelisah, selalu dihantui oleh pertanyaan ini. Dengan ragu aku menjawab pertanyaan Papa yang mungkin akan kecewa. "Hmm ... sebenarnya Osa gak mau kuliah, Pa," Intonasi kupelankan karena pastinya akan terjadi hal yang tidak mengenakan.

Dan benar saja, sontak Papa terkejut dan menaikkan nada bicaranya padaku. Kumis tipisnya bergoyang senada dengan gerakan bibir. "Apa!? Gak mau kuliah? Mau jadi apa kamu, Nak?" Aku terdiam, menggerutu sambil menundukkan pandangan.

"Jangan kecewain papa. Papa mau kamu lanjut kuliah, itu semua demi masa depan kamu—anak papa. Kamu gak harus ngambil jurusan pertanian, kok," sambung papa menekankan keinginannya agar aku berkuliah.

Namun dengan keputusasaanku, upaya Papa tak akan kupedulikan. Di sisa penglihatanku yang entah berapa lama lagi ini, aku ingin hidup bebas. Kemudian pandangan kutengadahkan ke wajah Papa yang tampak emosi. Aku pun menjawab, "Osa gak mau kuliah, Pa. Osa butuh kebebasan, buat ngewujudkan harapan," nadaku gemetar.

"Kuliah itu bukan penjara! Kamu gak papa larang kok buat bergaul sama siapa aja. Jangan banyak tingkah!"

"Bagi Osa kuliah itu tekanan! Buat apa Osa kuliah? Osa gak punya cita-cita. Osa gak bakal mau kuliah. KEPUTUSAN OSA UDAH BULAT!"

Mendengar sifatku yang bersikeras menolak tuntutannya, akhirnya Papa beranjak dari meja makan dan pergi entah ke mana. Kurasa ke teras halaman belakang—tempat ia menyendiri. Papa gak mau main tangan denganku, dia lembut. Baginya pendidikan adalah prioritas untukku. Tapi maaf, bagiku pendidikan hanyalah formalitas untuk dipandang orang karenanya. Aku hanya ingin bersikap realistis. Aku tidak perlu diatur.

Bagaimana cara supaya Papa bisa memahami kondisi hatiku, aku pun tidak tahu. Papa itu hidupnya terlalu teratur, apa saja dijaga. Mulai dari makanan, gaya hidup, sampai pendidikan pun dia jaga. Sedangkan aku, remaja yang tidak punya mimpi atau cita-cita. Baru saja kemarin mimpiku direnggut oleh perkataan dokter. Glaukoma, itu katanya. Seolah dokter kuanggap Tuhan. Apa yang dikatakannya, sudah terpatri dalam diri.

Berkali-kali aku meminta maaf pada Papa yang sedang merenung di teras taman belakang. Wajahnya tampak letih dan sedih. Ia melamun, aku bukan peramal, tidak bisa baca isi pikirannya, tapi aku bisa merasakannya. Mulutku komat-kamit mencoba menjabarkan keinginanku lagi. Kujelaskan semuanya tentang isi hatiku. Keputusanku untuk tidak melanjutkan pendidikan karena penyakit merusak masa depan, sudah bulat. Walaupun teman-temanku sudah memberi motivasi, namun tetap saja, aku harus realistis. Jangan banyak berkhayal. Aku tidak percaya diri, tidak punya ambisi, apalagi membayangkan masa depan cerah nanti. Mustahil.

Olm: Osa Si Salamander [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang