"Doain Osa ya, Pa. Semoga Osa bisa sampai di Puncak Carstensz Pyramid tanpa kendala."
"Setiap hari bahkan papa selalu doain kamu kemana pun perginya. Tapi papa ingatkan sekali lagi, Nak. Kalau kamu atau teman-teman merasa kesulitan, jangan paksakan. Ingat! Puncak Carstensz di Jaya Wijaya itu sangat tinggi."
"Ok, Pa. Nanti kalau sudah sampai Osa bakal kabarin. Bye!"
Tut .... Ponsel berlayar datar kutekan, putus sudah sambungan telepon antara aku dan Papa nun jauh di sana.
Agra yang duduk santai di sampingku, masih terus fokus membaca bukunya sebelum pesawat lepas landas. Sedangkan Alma dan Aisyah sibuk di kabin belakang dengan urusannya masing-masing.
Waktu tempuh lepas landas dari Sorong menuju Kabupaten Nabire berlangsung selama 1 jam 30 menit. Waktu yang lumayan lama, padahal satu pulau yang sama. Aku pikir, Indonesia itu hanyalah sebuah pulau raksasa dengan butiran-butiran pulau kecil lainnya. Tapi ternyata tidak! Indonesia bukanlah Australia--negara besar yang juga merangkap menjadi sebuah benua kerdil. Negeri ini bukanlah hasil mencuri, negeri permai ini adalah hasil pertaruhan hidup dan mati. Dan sekarang bagi pemuda bangsa seperti kami, menjaga kesuburan dan kemerdekaan negaralah jalan satu-satunya dalam berkontribusi padanya.
Aku tak habis pikir atas dasar apa orang-orang di luar sana sampai rela meninggalkan tanah air demi kepentingan pribadi. Mereka-mereka yang berilmu tinggi, pastilah sebagian besarnya melanglang buana ke luar negeri, sedangkan para kaum tanpa mimpi hanya berhenti menjadi petani di negeri sendiri. Bagaimana bisa mereka meninggalkan Indonesia--tempat asri nan mempesona ini seolah menjadi tak berarti. turis-turis dari mancanegara banyak yang membidik Indonesia menjadi destinasi wisata liburan mereka. Itu bagus! Namun kuharap ... para turis-turis itu tidak membidik hal lain--membidik kemerdekaan Zamrud Khatulistiwa.
Baling-baling kapal terbang telah berputar dengan kecepatan konstan. Roda mungilnya terlipat dalam tubuh gahar si Burung Besi. Pesawat lepas landas, melawan dimensi waktu yang bersifat relatif. Tanah tropis Kepulauan Raja Ampat sudah raib dipandang mata, tinggallah dia di dalam sanubari setiap pendatangnya. Sebuah sejarah baru terlukis dalam diriku, sejarah itu menghasilkan pergeseran takdir antar sesama. Tuhan telah menentukan relasiku dengan Raka terputus sampai di sini. Aku terbang menuju Kabupaten Nabire. Raka bermuara ke benua mungil namun maju: Australia.
"Gak usah berlebihan begitu mikirin dia," sambut Agra yang mengacaukan keheningan.
Seolah dirinya sudah tahu apa isi kepalaku, yang jelas apa yang ia katakan barusan seperti cocok dalam pikiran.
"Gra ...."
"Hmm ...."
"Kata orang, perpisahan itu adalah bagian dari pendewasaan. Benar begitu?" tanyaku dengan nada lemah lembut.
"Bukan hanya itu saja. Lo tahu, semua orang yang ada di dunia, terkhusus anak remaja, itu haruslah berpisah dari keluarganya, kampung halamannya, juga teman-temannya."
"Kenapa?"
"Ya untuk pendewasaan diri. Dan kebanyakan dari remaja di dunia, memilih untuk bepergian jauh ke negeri yang lebih maju. Untuk apa lagi kalau bukan untuk mengubah dan mencari pengalaman."
Mataku menatap jemari kaki yang tertutup sepatu sport hijau daun. Sejenak pembicaraan terhenti. Pikirku melayang-layang ke mana-mana, membayangkan berbagai macam kemungkinan yang akan berlangsung dalam hidupku.
"Terus ... kalau gue kan gak mungkin. Lo tahu lah, apa yang buat gue gak mungkin buat pergi jauh-jauh," renungan kembali berlangsung. Aku menatap lembut Agra dengan pantulan cahaya lampu di permukaan bola mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Olm: Osa Si Salamander [Selesai]
ChickLitBercerita tentang perjuangan seorang gadis lulusan SMA yang harus menerima kenyataan pahit tentang penglihatannya yang perlahan membuta. Ia pengidap glaukoma. Kisahnya untuk mengejar harapan dengan menelusuri Bumi Timur Indonesia menjadi tantangan b...