Pagi ini, rintik-rintik sendu tercurah dari gerimis di langit Papua. Aku dan Agra sedang menatap kosong ke arah makam Aisyah. Aisyah dikuburkan di Tempat Pemakaman Umum Papua, karena dia adalah gadis sebatang kara tanpa keluarga.
Rerumputan hijau di tengah pemakaman membuat semerbak aroma hujan yang jatuh ke atasnya terasa sedap dihirup. Aku terduduk lemas di tanah sambil terus menangisi Aisyah yang sudah tidak di bumi. Agra berdiri mematung sambil memegangi payung agar aku tidak kehujanan.
"Se-seandainya aja gu-gue gak seegois ini," isak tangis membuat suaraku meringis tidak jelas. "Kalau saja pendakian itu gue batalin, pasti Aisyah enggak kayak gini."
Agra mulai berjongkok di samping sambil mengelus-elus pundakku. "Jangan pernah menyesal untuk hal yang udah berlalu. Sebab, lo gak akan bisa membatalkan kejadian itu dengan menyesal." Dia mendeham suaranya yang sedikit serak, lalu melanjutkan, "Sa, gue tahu keinginan lo buat trip ini sama mulianya dengan orang-orang yang mewujudkan cita-citanya. Makanya gue bersikeras buat bantu lo sekali pun gue gak berpengalaman dalam trip-trip yang lo rencanain."
Aku tidak menggubris nasihatnya, sebab, rasa kecewa terhadap Agra masih terasa dalam benak. Perih, di satu sisi aku merasakan kepedihan karena kehilangan Aisyah, dan di sisi lain, orang yang aku percayai, ternyata tidak lebih dari sekadar pembual. Masalah apa lagi yang akan kuhadapi sebelum mengalami kebutaan ini? Padahal, aku ingin menghabiskan sisa penglihatan untuk hal-hal yang baik, tapi ternyata, sifatku yang egois dan orang-orang di sekitarku menjadi penghalang.
"Setengah jam lagi kita harus secepatnya ke bandara, Sa." Agra kembali berdiri, merapikan pakaiannya yang serba hitam. "Meninggalkan makam ini gak membuat lo jauh dari almarhumah Aisyah. Banyak-banyak doakan dia."
Dengan sangat berat hati, secepatnya aku menyeka air mata. Napas aku coba untuk mengaturnya agar kembali pada ritme normal. Taburan terakhir bunga kasturi—karena Aisyah suka kasturi—kutebar di sepanjang lanskap makam wanita itu. Kemudian aku beranjak pergi bersama Agra--pulang.
~~~~~
"Kak Yewen, makasih banyak. Selama pendakian, Kakak udah mau menuntun kami walaupun cuma setengah jalan," kataku seraya berterima kasih pada sang Leader—Kak Yewen. Dia mengantarkan kami sampai bandara.
Kak Yewen menyunggingkan mulutnya, membuat sebagian gigi serinya yang rompal kelihatan. "Bukan masalah, Dik. Kalian memang anak-anak muda sangat mencintai alam. Ingat ya, jangan sekali-kali kalian menyakiti alam Indonesia."
Kami berdua mengangguk. Senyum tipis memancar dari diri yang sedang tidak baik-baik saja. Kemudian sebuah jabat tangan yang menjadi salam perpisahan, dilakukan oleh Agra dengan Kak Yewen lalu aku secara bergantian. "Nanti kalau sa ke Puncak Carstensz lagi, kamu bisa ikut," ucapnya dengan aksen Timur yang unik.
"Heheh ...," aku cengengesan. Tidak mungkin rasanya aku bisa ke sini lagi. "Mana mungkin bisa, Kak."
"Mungkin saja, Dik. Dengan cara baru." Aku tidak mengerti jalan pembicaraan Kak Yewen, seberkas senyum lebar kembali kuisi agar tidak terjadi awkward momen.
Kami pun berpisah. Aku dan Agra akan kembali ke puncak di Pulau Jawa, dan Kak Yewen akan menetap dan menjaga puncak Pulau Papua.
~~~~~
Pesawat bertubuh putih dengan lis-lis yang membentuk burung garuda berwarna biru, akhirnya mengepakkan sayap besinya dan mengudara. Tanah Papua yang permai nun jauh dipandang mata akhirnya kami tinggalkan. Sejak pertama kali menginjakkan kaki di Papua—mulai dari Kepulauan Raja Ampat—aku sudah merasakan kenyamanan di tempat ini. Masyarakat lokal yang baik dan tulus membuatku banyak belajar dari mereka. Filda dan Kak Yewen, dua insan yang menjadi guru kilatku untuk mengevaluasi diri di Negeri Timur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Olm: Osa Si Salamander [Selesai]
ChickLitBercerita tentang perjuangan seorang gadis lulusan SMA yang harus menerima kenyataan pahit tentang penglihatannya yang perlahan membuta. Ia pengidap glaukoma. Kisahnya untuk mengejar harapan dengan menelusuri Bumi Timur Indonesia menjadi tantangan b...