Mentari pagi masih bertengger di indahnya negeri Timur. Untaiannya menyinari segala macam objek yang ada di bumi, menghangatkannya, kemudian memberi manfaat darinya. Sinar ultraviolet yang hinggap di permukaan kulit kuning langsatku membuat gerah tubuh--mengubah panasnya menjadi vitamin D yang akan bermanfaat untuk meningkatkan imunitas tubuh.
Dulu sewaktu aku masih kelas 2-3 SD, ketika hari libur papa selalu ingatkan aku untuk selalu keluar rumah ketika pagi hari tiba. Papa juga selalu mengajakku menjelajah perkebunannya ketika pagi tiba. Mungkin dari situlah awal mula aku menyukai alam-walau terkadang alam sedikit menyebalkan.
Di pagi yang cerah ini, aku sudah bersiap-siap dengan setelan baju kaos putih dengan hiasan teks sablon berwarna hijau bertuliskan "Me and My Nature" . Gak lupa celana jins biru bercampur abu-abu nge-press dari pinggang hingga pergelangan kaki. Sepatu kets hijau muda dengan lis putih bermerk Nike membungkus kaki. Entah kenapa, OOTD simple seperti ini menjadi setelan favorit aku ketika ingin berpergian. Gak suka yang macam-macam.
Kududukkan bokong teposku di atas kursi santai yang terpajang di samping halaman hotel sambil berjemur di pagi hari. Mataku yang akan menjadi hiasan nantinya kututupi dengan kacamata coklat yang menghalang serangan sinar matahari berbahaya jika terkena mata. Sesekali kuangkat tangan kananku dan menghadapkan wajah oval dan menatap ke arahnya yang bermaksud mengecek waktu. Waktu menunjukkan pukul 8:15 WIT, masih setengah jam lagi untukku dan teman-teman mempersiapkan diri sebelum perjalanan ke pelabuhan berlangsung.
Ketika aku sedang sibuk mendalami isi pikiran sendiri, terdengar suara hentakkan sendal yang menapakki jalanan mewah halaman hotel. Ritme hentakkan konstan, perlahan namun semakin terdengar mendekat ke arahku. Kuarahkan pandanganku ke kiri melihat seseorang yang gak asing lagi olehku, dia Raka. Tampak setelan baju pantai berwarna merah dengan corak bunga-bunga berwarna putih bertebaran terhembus angin. Dua kancing atasnya terbuka, memperlihatkan dada busung eksotis Raka dengan tahi lalat tertempel di sana. Celana pendek putih dengan sendal hotel menghiasi bawahan Pemuda Puncak itu. Rambutnya yang kering ikal namun lemas tampak berterbangan mengikuti alunan angin pagi.
Ia menatapku silau, tersenyum ke arahku sambil memperlihatkan lesung pipitnya. "Udah dari tadi,Sa?" tanyanya sambil menundukkan pandangan padaku yang sedang duduk di kursi panjang tempat itu.
"Lumayan, lah," jawabku singkat sembari menebar senyum kecil padanya. Kepalaku menengadah ke arahnya dan menatapnya dengan kacamata hitamku. Sejenak kami berdiam, kemudian sepersekian detik ia melanjut, "Boleh aku duduk?"
Aku hanya mengangguk, menepuk-nepuk tangan kiriku ke arah kursi kayu yang mengilat karena pernis, memberi isyarat padanya untuk duduk. Dengan senag hati dia tempatkan tubuhnya bersebelahan denganku yang hanya dipisah oleh kekosongan 5-6 senti saja.
"Jadi ... bagaimana kondisi mata kamu?" Seperti biasa, tutur kata anak puncak yang terkenal lembut tanpa campuran bahsa gaul digunakan oleh Raka. Walau tutur katanya lembut, tapi nada suara yang ia keluarkan tegas. Ngebas.
Aku merubah posisi dudukku, menempatkan kedua tangan ke arah sisi kosong di antara kedua pahaku, lalu menjawab, "Hmm ... ok, lah. Masih sama kayak pertama aku didiagnosa. Masih suka sempoyongan kalo malam."
"Kamu gak usah takut hal seperti itu."
"Bener kata lo. Gue juga udah terbiasa."
"Pokoknya aku janji, Sa. Kamu bakal kujaga seperti apa pun keadaannya. Karena aku temen kamu dari kecil, aku yang lebih tahu isi hatimu. Aku bakal jadi teman baikmu." Aku mengangguk paham, kemudian membuang pandangan ke depan-kembali menatap kosong.
Pagi itu, disaksikan oleh angsana sepoi, oleh mentari yang menyinari, dan pepohonan hijau yang menumbuhi daunya, Raka mengucap janji. Janji untuk selalu melindungiku bagaimana pun keadaannya. Janji akan menjadi teman baikku. Hanya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Olm: Osa Si Salamander [Selesai]
ChickLitBercerita tentang perjuangan seorang gadis lulusan SMA yang harus menerima kenyataan pahit tentang penglihatannya yang perlahan membuta. Ia pengidap glaukoma. Kisahnya untuk mengejar harapan dengan menelusuri Bumi Timur Indonesia menjadi tantangan b...