Harga Diri Tak Lebih dari Apresiasi

16 5 0
                                    

"Haduh! Langitnya mulai gelap, Gra." Aku memerhatikan horizon dunia, menatap mentari mulai meninggalkan bumi untuk berganti dengan bulan.

Pasir pantai yang tadinya terasa hangat, kini menyejuk disebabkan hawa malam itu yang sangat rendah. bayi-bayi penyu seluruhnya sudah melanglang buana menuju lautan lepas, menuju tanpa batas.

Aku yang sedari tadi mulai gusar karena pandangan terganggu, terus mengeluh pada Agra.

"Tenang aja," gumam Agra sambil merogoh saku dalam switer tebalnya. "Nih, untung gue bawa lampu."

Dua buah lampu teplok kecil ia keluarkan dari baju tebalnya yang sedari tadi menggelembung. Kemudian dengan sigap Agra menyalakan sumbu lampu tersebut. Lampu pun menyinari wajah kami sambil melepas kalornya, membuat kehangatan kecil terasa di permukaan dermis.

Aku menggenggam satu teplok, mengharap bisa mempermudah penglihatanku dalam gelap. 

"Terus, kita pulang naik apa? Apa ada malam-malam begini kapal?" tanyaku semakin cemas karena sepertinya tidak ada kapal yang bertugas di malam hari.

Si Nolep Agra menggeleng, kemudian berkata, "Memang gak ada, tapi kita bisa pakai alternatif lain buat balik ke Misool Utara. Dengan jalan kaki."

Aku terperangah karena baru tahu kalau dari Misool Utara ke Selatan bisa menggunakan jalur darat. Ditambah, hari sudah gelap, suasana di Misool Selatan hampir tidak ada penerangan di sepanjang jalan yang membentang. 

Penolakkan sempat ingin kuajukan padanya, tapi Agra keburu menghadang mulutku yang ingin berbicara, seolah tahu kalau aku akan banyak protes. Mau tidak mau sekaligus dengan terpaksa, aku ikut saja.

~~~~~

Malam sudah sepenuhnya menggelapi hari. Pohon-pohon oak yang menderu sunyi membuat suasana perjalanan dipenuhi dengan dengung telinga. Hawa udara yang bercampur dinginnya air laut mulai menusuk-nusuk tulang. Dingin. Suasana desa tampak sepi, hampir tidak ada penerangan yang mewarnai malam. Hanya terlihat dari ventilasi rumah kayu mereka cahaya kuning yang berbinar redup. Mungkin itu lampu teplok yang kugenggam ini. Namun, suara lolongan anjing liar menjadi satu-satunya keramaian yang ada. 

Agra yang berjalan bersisian di sampingku membisu, seolah-olah sedang kerasukan sesuatu. Aku ikut berkontribusi dalam kesunyian, terus melangkah menapaki jalanan tak beraspal tempat ini yang membuat kaki siapa pun yang lewat akan berdebu.

Tiba-tiba suara berkeresak terdengar dari balik semak belukar. Kami berdua sontak mengalihkan pandang pada objek. Sepersekian detik, tampaklah sosok siluet yang diterangi oleh teplok kami. Postur tubuhnya sama seperti orang yang aku lihat sekelebat waktu kembali dari  Pusat Pertolongan Pertama Pulau Misool. Ia mendekat, menunjukkan eksisteninya.

"Raka!?" Sontak aku menunjuk kaget pada bayangan yang sudah jelas tampangnya siapa.

Raka mendekat, wajahnya dingin saja seolah berkamuflase dengan cuaca. 

Dengan sigap Agra menarikku, aku membelakangi dia. 

"Aku mau bicara sama Osa sebentar," serunya dengan nada datar. Suara basnya menggema mengikuti angsana.

"Mending lo cabut! Jangan ngusik Osa terus. Jangan buat gue bertindak kasar sama lo." Tegas Agra dengan manikkan nada bicaranya. Tangannya mengepal kaku.

"Tenang. Aku gak bakal nyakitin Osa, ada yang mau kubicarakan hanya berdua."

"Gue gak suka keributan. Tapi kalau lo maksa, gue gak akan nolak."

"Aku gak maksa buat ribut, aku cuma mau meluruskan maksudku waktu itu. Tolong jangan halangi," pinta Raka dengan mencoba rendah hati.

Raka yang bersikap dingin tak terpengaruh oleh Agra yang mulai tegang urat. Kepalan tangan Agra semakin kencang, dadanya membusung, seolah menentang dan siap menerjang. Si Nolep terus menolak dan mengotot agar Raka segera menjauhiku. Aku yang semakin takut melihat kekeruhan yang terjadi, hanya bisa diam dan berserah diri pada Agra.

Olm: Osa Si Salamander [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang