Rumah ini sangat tidak nyaman untuk standar manusia di dunia. Lapuknya kayu yang menjadi material utama bahan pembangun, membuatnya berisiko ambruk kapan saja. Atap berbahan seng yang terdengar nyaring ketika hujan, juga sudah tampak berlubang, meloloskan cahaya matahari siang ke permukaan semen tak berkeramik rumah itu. 'Rumah Reot', 'Rumah Gubuk', 'Rumah Bobrok', mungkin sebutan itu lebih tepat daripada menyebutnya sebagai 'Rumah Manusia'.
Listrik yang menjad alternatif penerangan untuk berbagai macam keperluan, kini tidak kelihatan secercah cahaya pun di setiap sudutnya. Bau amis ikan semilir tercium ke penciuman setiap orang yang bertamu. Bagaimana tidak, rumah guru muda yang punya cita-cita mulia ini berbelakangan langsung dengan penangkaran ikan.
Aku duduk lesehan di matras sederhana yang terletak di sekeliling rumah tanpa perabotan itu. Tidak ada satu pun mabel yang teronggok di ruangan ini. Kosong melompong. Namun mata jeliku berusaha mencari keberagaman di sekeliling ruangan. Aku melihatnya, walau di ruangan ini tidak ada perabotan apa pun, tapi aku melihat setumpuk benda yang paling kuhindari. Buku.
Di sudut ujung ruangan, terpampang buku-buku tebal yang saling bertindihan laksana gunung Jaya Wijaya. Aku mendekat, menyembulkan kepala pada karya sastra itu. Tanganku menggapai buku itu, melihat sampulnya, dan kemudian membolak-balik halamannya. Buku-buku ini sepertinya berisi tentang pendidikan. Buku pelajaran. Dengan sampul yang di antaranya sudah robek, dengan warna kertas yang kecoklatan, serta aroma buku lama yang menyerbak, membuat aku atau mungkin siapa pun ogah membacanya. Tapi satu hal yang tidak bisa kuterima dengan akal, buku ini tampaknya buku lama yang telah usang, itu benar. Tapi hampir tidak ada setitik debu pun yang mengganggu keagungan sumber ilmu ini.
"Itu buku mengajar saya di desa ini, hanya itu," sahut seorang wanita muda yang menghampiriku dari belakang.
Aku sedikit terkejut akan kehadirannya dari dapur. Tubuh langsingku berbalik, menghadap Filda yang sudah di depan mata.
Aku cengengesan padanya yang sudah duduk di atas matras dengan stoples yang dibawa dari dapur. Sejenak aku menelaah perkataanya tadi. "Hanya itu?" Buku-buku yang bertumpuk ini amat banyak bagiku. Walau untuk seorang kutu buku atau maniak literasi ini masih kurang, tapi untukku ini sudah cukup untuk membuat otak berdenyut pusing.
"Saya ada cemlian buat kamu, Sa. Kue sagu lempeng," katanya dengan sukacita. "Maaf, saya tidak punya yang lebih dari ini. Saya harap kamu suka."
Aku mengapresiasi usahanya untuk melayani tamu. Wajahku tersenyum tulus padanya, mengucapkan terima kasih atas usahanya. Stoples itu kugenggam, kurogoh isinya, dan mengambil makanan tradisional khas Papua itu untuk segera melahapnya. Remahan tepung sagu bertebar halus ketika aku menggigitnya. Rasanya manis, cocok menjadi teman kopi atau teh ketika bersantai. Setitik rasa Papua telah merasuki ragaku.
"Buku itu," aku menunjuk ke arah tumpukkan buku usang di sudut ruangan. "Masih kamu gunakan?"
"Iya, masih saya gunakan. Dan akan selalu saya gunakan untuk mengajar siapa pun." Filda mengangguk, mengiyakan. Senyum tulusnya masih terkembang.
Tiba-tiba aku teringat sesuatu, sesuatu yang sampai sekarang masih menjadi pertimbanganku untuk menjalani hidup. Realistis atau imajinatf.
"Boleh aku tanya sesuatu?" Nada pembicaraan kuturunkan. Siap digurui.
"Silahkan."
"Kamu pilih hidup realistis atau imajinatif?" Diksi yang kugunakan kusesuaikan dengan gaya bahasa lawan bicara.
"Kenapa tanya begitu?"
"Karena aku mau tahu pendapat setiap orang tentangnya."
Filda mengangguk paham. Duduknya ia ubah untuk mencari posisi ternyaman sebelum menjawab.
KAMU SEDANG MEMBACA
Olm: Osa Si Salamander [Selesai]
ChickLitBercerita tentang perjuangan seorang gadis lulusan SMA yang harus menerima kenyataan pahit tentang penglihatannya yang perlahan membuta. Ia pengidap glaukoma. Kisahnya untuk mengejar harapan dengan menelusuri Bumi Timur Indonesia menjadi tantangan b...