"Iya sayang. Besok kita ketemu, ya."
Rasanya jantungku seakan berhenti berdetak saat tak sengaja menangkap obrolan Mas Abdu—suamiku—yang sedang berbicara via telepon entah dengan siapa, di ruang tamu rumah kami.
Saat ini aku terbangun karena ingin ke kamar mandi untuk buang air kecil. Ketika kakiku baru satu langkah keluar kamar, suara Mas Abdu terdengar di telinga meski suamiku itu terkesan berusaha untuk berbisik.
Aku menatap jam dinding. Pukul 01.00 memasuki dini hari. Pantas saja Mas Abdu sering bangun kesiangan. Ternyata ini yang dia lakukan tiap malam.
Tak jadi ke kamar mandi, aku memilih mendatangi Mas Abdu ke ruang tamu. Sengaja langkah kaki kuseret supaya terdengar olehnya.
"Eh, Mama. Tumben bangun, Ma?" Kulihat dia gelagapan, bergegas mengubah posisi menjadi duduk padahal tadi sebelumnya dia sedang menyandarkan kepala di pegangan sofa merah marun ruang tamu.
"Aku kebangun, Pa, karena banyak nyamuk di kamar. Papa sendiri, kok, jam segini belum tidur? Bukannya besok masih bekerja? Bicara dengan siapa tadi?" Aku mencecar.
"Klien, Ma." Mas Abdu salah tingkah menatap ponselnya.
"Jam segini?" Aku mengulang sembari melipat kedua tangan di depan dada. Aku tidak akan menyerah untuk menyudutkannya sampai mendapatkan jawaban yang memuaskan.
"Iya. Tadi klien itu lihat papa masih online di Whatsapp, makanya langsung nelepon." Mas Abdu menjawab, tetapi matanya yang sipit menatap ke arah lain.
"Dengan klien, kok, pake ngomong sayang segala?"
"Sayang? Perasaan Papa nggak ada ngomong sayang, deh, Ma." Mas Abdu membantah. "Oh, iya. Tadi Papa ada ngomong 'sayang kalo kesempatan ini dilewatkan' mungkin itu kali, Ma."
Ck! Pintar sekali dia.
Suamiku bekerja sebagai kepala teknisi di sebuah perusahaan listrik milik negara. Pekerjaannya ini berhubungan dengan banyak orang. Meski jam kerjanya seperti karyawan pada umumnya, namun Mas Abdu harus standby 24 jam. Sehingga dia harus siap siaga jika jasanya segera dibutuhkan, walau di malam hari sekali pun.
Jadi aku percaya saja dengan perkataan Mas Abdu barusan. Biarkan saja jika dia berbohong kali ini. Lain kali aku pasti bisa mengetahui jika dia berulah. Toh, pepatah lama mengatakan, sepandai-pandainya menyimpan bangkai, pasti bakal tercium juga, bukan?
Sesungguhnya sudah sejak lama aku merasakan kecurigaan. Semenjak dia naik jabatan dan punya banyak uang. Sikapnya banyak berubah secara drastis.
Suamiku itu kerap kali berbicara sembunyi-sembunyi. Ponsel tak pernah lepas dari genggamannya. Bahkan pernah dia bawa ke dalam kamar mandi. Taksa, anakku yang berusia lima tahun pernah memergoki ayahnya itu sering tersenyum sendiri jika sedang berbalas pesan dengan seseorang di ponselnya itu.
Aku masih berdiri memerhatikannya. Mungkin karena tatapanku yang penuh kecurigaan, suamiku menyerah dan segera bangkit, berjalan menuju ke kamar.
~AA~
"Papa berangkat kerja dulu ya, Ma." Mas Abdu pamit sembari menyodorkan tangan kanan untuk kucium. Setelah itu dia mengelus kepala Taksa lalu mengecupnya. "Taksa titip apa? Nanti Papa belikan!" Mas Abdu membungkuk berbicara dekat dengan anak semata wayang kami.
"Ayam goreng, Pa. Kayak biasa." Pipi Taksa yang gembil semakin membulat senang ketika Papanya memberi perhatian.
"Baik sayang. Jangan nakal, oke. Belajar yang rajin, ya. Dengerin dan nurut semua kata Mama." Mas Abdu memberi nasehat pada Taksa sebelum dia berlalu pergi bersama sedan putihnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wanita Simpanan Suamiku
RomanceBenak Gauri dipenuhi dengan tanda tanya semenjak merebak kabar bahwa Freya, janda kembang sekaligus seseorang yang pernah menjadi bagian dari masa lalu suaminya, kembali ke kota tempat tinggal mereka. Apalagi Abdu, suaminya, mulai menunjukkan sikap...