Bab 12. Muslihat Gadis Licik

2.3K 84 2
                                    

Hingga sore menjelang, Abdu tak jua kunjung datang. Atas bujukan Wulan pula, dia mengajak Freya mampir ke rumahnya yang tak jauh dari rumah Dodot tersebut. Wulan juga berjanji akan mengantar Freya dengan motornya setelah dia menjemput motornya dulu ke rumah.

Ali tidak bisa mencegah. Dia membiarkan saja kedua gadis itu pergi menjauh. Pikirannya dipenuhi rasa penasaran atas apa yang telah terjadi antara Abdu dan Freya, yang menurutnya sangat janggal. Ali tidak percaya jika Abdu dan Freya bisa bertengkar hebat di satu bulan usia hubungan mereka. Apalagi hari ini gadis itu berulang tahun.

Setelah jam 7 malam, baru lah Abdu datang. Baju dalamnya basah, kemeja yang semula terpakai rapi, sudah tersampir di bahunya. Wajahnya pun terlihat sangat lelah.

"Kemana aja, sih, Du? Kenapa kamu pergi ninggalin Freya begitu aja? Kamu tau nggak tadi dia menangis? Apa yang sebenarnya sudah terjadi?" Ali menyambut dengan pertanyaan yang bertubi-tubi.

"Aku dari kebun dan aku sedang nggak mau membahas cewek itu, Li." Abdu merebahkan tubuh ke sofa panjang ruang tamu. Matanya terpejam. Sebelah tangannya diletakkan di atas dahi.

"Abdu!"

"Jangan berisik, Li. Please!" Suara Abdu berbisik tapi tegas, membuat sahabatnya itu tak berani meneruskan kata-katanya lagi. Ali sudah hapal betul sifat Abdu yang keras kepala. Jika dia masih tetap mendesak Abdu untuk berbicara, dipastikan mereka akan berkelahi. Biarlah Ali menunggu, bila saatnya sudah tiba nanti, Ali yakin Abdu akan buka suara dan menceritakan semuanya.

~AA~

Beberapa hari kemudian, setelah melihat Abdu agak tenang, baru lah Ali berani membahas masalah itu lagi. Dia bertanya pada Abdu, apa yang sudah terjadi antara sahabatnya itu dan Freya di party tempo hari.

Abdu menceritakan semua kaduan dari Wulan. Perlahan, dan masih diliputi rasa amarah.

"Ya ampun, kamu percaya ucapan Wulan mentah-mentah, Du? Kamu kan tau dia dari dulu berusaha menggodamu." Ali menggeleng menyayangkan. "Lagian, kenapa nggak tanya Freya, sih. Konfirmasi ke dia dulu."

"Aku sudah terlanjur terbalut emosi, Li. Pikiranku kalut saat itu." Abdu mengembuskan napas berat.

"Gini, deh. Mending tanya Laila kalo mau tau lebih jelas kebenarannya." Ali memberi ide.

Entah memang sudah ditakdirkan atau bagaimana, Laila muncul di ambang pintu rumah Dodot. "Kak, disuruh pulang sama Mama." Dia berucap tanpa salam, menatap ke kakaknya itu.

"Nih, bocah panjang umur. Baru aja diomongin. Masuk dulu, Dek. Ada yang mau ditanyain," ujar Ali kepada adiknya itu.

"Apa, sih?" Laila menatap heran. Dia berjalan masuk, mengambil duduk di sebelah kakaknya.

"Kamu kenal dengan Steve, Dek? Siapa dia?" tanya Ali.

Laila mencoba mengingat. "Oh, dia sempat dekat dengan Fre. Tapi Steve udah nggak di kota ini lagi. Udah pindah beberapa tahun yang lalu."

Abdu langsung terhenyak mendengarnya. Rautnya menunjukkan rasa penyesalan yang dalam.

"Kenapa, sih?" Laila menatap heran. Ali menceritakan semuanya, perihal kejadian kemarin serta ucapan Wulan.

"Ya elah ... omongan Wulan didengerin. Setauku dulu dia nembak Steve tapi ditolak. Malah Steve deketin Freya," ujar Laila lagi. "Aku juga heran, kenapa Freya dan Wulan jadi deket, ya? Sekarang mereka kemana-mana selalu berdua."

Ada rasa tidak enak menyusup ke dalam diri Abdu. Betapa bodohnya dia yang telah mengikuti amarah dan emosi. Apakah keadaan ini bisa dia perbaiki? Apakah Freya masih mau memaafkan kebodohannya tempo hari? Pertanyaan itu menari-nari di ruang kepalanya.

~AA~

Dua orang gadis sedang berjalan santai menikmati udara sore di jalanan setapak yang kanan kirinya ditumbuhi pohon rambutan. Dari arah depan, seorang gadis juga sendirian, melangkah ke arah mereka.

"Sstt ... Fre! Kalo kamu mau tau, dia itu yang namanya Gauri. Pacarnya Abdu di sekolah," bisik Wulan pada Freya. "Nanti deh aku kenalin."

Setelah mereka berhadap-hadapan, Wulan menyapa gadis hitam manis itu. "Hai, Gauri! Mau kemana? Kok sendirian?" Suara Wulan terdengar manja dan dibuat-buat.

"Aku dari rumah temen, Lan. Ini mau pulang." Gauri tersenyum. Lalu menatap Freya. Freya membalasnya dengan senyum terpaksa. Hatinya jelas cemburu. Kekasih Abdu di hadapannya juga manis menurut gadis itu.

"Oh, iya. Kenalin ini temanku, Freya." Wulan memperkenalkan kedua gadis itu. Mereka berjabat tangan sebentar lalu melepaskannya.

"Aku duluan, ya, Lan. Nanti kesorean." Sekali lagi dia mengangguk dan tersenyum pada Freya. Freya balas mengangguk. Tatapannya tak pernah lepas hingga sosok Gauri hilang dari pandangannya.

"Manis, ya? Di sekolah, Abdu dan Gauri itu pasangan serasi." Wulan seolah sengaja memanasi.

Freya mengembuskan napas. "Kamu betul, Lan. Mereka pasangan serasi." Tatapannya kosong dan pikirannya melanglang buana. Tak didengarnya lagi ocehan Wulan selanjutnya, yang mengisahkan bahwa Gauri dan adik lelakinya, diasuh oleh nenek mereka sejak dari kecil.

~AA~

Dua orang pemuda sudah berdiri di pekarangan rumah Freya. Meski ragu, akhirnya Abdu mengetuk pintu bercat putih itu sambil memberi salam. "Assalamualaikum ...!"

Tak lama kemudian pintu terbuka. Tampak ibunya Freya berdiri dengan wajah tidak suka.

"Freya ada, Bu?" Abdu berusaha tersenyum meski dirinya gugup.

"Freya sedang nggak ada di rumah," jawab ibu Freya. "Satu lagi, Ibu minta sama kamu, jangan datang dan menemui Freya lagi. Saya nggak suka, ya, sama kamu. Tempo hari kamu jemput Freya, tapi dia pulang diantar orang lain. Kemana tanggung jawabmu?" Ibu Freya berkacak pinggang.

"Maaf, Bu. Ada kesalahpahaman antara saya dengan Freya." Abdu mencoba membela diri.

"Ah, sudah. Saya nggak mau dengar apa pun alasanmu. Pokoknya nggak usah mendekati anak saya lagi!" Belum sempat Abdu menjawab, pintu sudah tertutup di depan wajah Abdu. Dia membalik badan, menghampiri Ali yang menyaksikan kejadian barusan.

"Sabar, Du. Menurutku lebih baik kamu bicara dengan Freya dulu. Temui saja dia saat pulang sekolah besok." Ali menepuk bahu Abdu.

Pemuda beralis tebal itu mengangguk. Wajahnya terlihat semakin kalut. Tak menyangka tindakannya tempo hari menimbulkan masalah baru. Ibu Freya yang awalnya ramah, jadi bersikap memusuhinya.

Dia pun sadar betul bahwa ini adalah murni kesalahannya. Seandainya dia tidak menuruti emosi, mungkin ceritanya akan berbeda. Dia naik ke atas boncengan motor Ali. Motor itu melaju di atas jalanan berbatu.

"Sabar, Du. Inilah namanya kehidupan. Kamu harus kuat, jika ditimpa masalah, kamu harus bisa menghadapinya secara jantan." Ali memberi semangat pada Abdu di atas motor yang bergerak semakin menjauhi rumah Freya.

Meski terkadang dia tidak mengerti ucapan Ali, Abdu merasa bersyukur punya sahabat seperti dia. Ali selalu mendukung dan ada di kala Abdu merasa susah maupun senang.

Ali benar, dia harus menghadapi masalah ini secara jantan. Dia akan menemui Freya dulu, dan menjernihkan kesalahpahaman yang telah terjadi.

Setelah itu, barulah dia akan meminta maaf pada Ibu Freya. Serta mengakui bahwa tindakan yang dia lakukan pada Freya kemarin memang salah. Dia juga siap menanggung segala resiko yang terjadi apa pun itu.

~AA~

Wanita Simpanan SuamikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang