Aku memakai blazer toska dan celana berbahan dasar kain dengan warna senada, lantas mematut diri sembari menatap wajah di cermin meja rias. Alisku terukir pensil berwarna cokelat tua. Maskara dan eye liner hitam mempertegas kelopak mataku lalu sedikit blush on dan tak lupa memoles lipstik peach favorit. Sentuhan terakhir, menyemprotkan parfum beraroma jasmine ke beberapa bagian tubuhku.
Niko sudah menunggu sejak tadi di ruang tamu bersama Taksa, anakku. Setelah semua dirasa siap, aku mengangguk pada Niko, mengajaknya segera berangkat sekarang juga.
Mobil Niko melaju mulus membelah jalan raya. Setelah tiga puluh menit, kendaraan yang membawa kami itu memasuki pelataran parkir kantor Mas Abdu.
Ya, aku harus berdandan sesempurna mungkin untuk bertemu dengan pimpinan kantor suamiku itu. Juga, aku ingin Mas Abdu merasa sangat menyesal telah mendua dan berselingkuh dengan si sundal, Wulan.
Selama ini karena tuntutan tugas sebagai seorang ibu rumah tangga, membuatku tidak pernah berdandan seperti saat ini. Mungkin itu sebabnya Mas Abdu merasa jenuh karena jarang melihatku menggunakan make up. Tapi, walau bagaimanapun dia tetap saja salah. Seumpama dia ingin aku berdandan, apa salahnya tinggal bilang saja. Tuhan menciptakan mulut manusia fungsinya untuk berkomunikasi, bukan?
"Mbak harus kuat, ya. Jangan goyah jika Mas Abdu merayu atau memelas. Aku akan menunggu di sini menemani Taksa." Niko menyentuh tanganku, berusaha menguatkan sebelum aku keluar dari mobilnya.
Aku mengangguk mantap, mendorong daun pintu mobil berjalan ke kantor Mas Abdu. Melangkah melewati dua orang security lantas kutuju meja admin.
"Selamat siang! Ada yang bisa saya bantu, Bu?" sapa seorang admin ramah. Senyumnya tidak pernah lepas dari bibir bergincu merah.
"Saya mau bertemu Pak Wirawan, Mbak." Aku menjawab tanyanya.
"Apa Ibu sudah membuat janji?"
"Sudah." Aku mengangguk meyakinkan. Memang aku sudah menelepon pimpinan tempat Mas Abdu bekerja sore kemarin. Aku memintanya meluangkan waktu untuk berbicara barang sebentar saja. Kubilang padanya bahwa hal yang ingin kusampaikan sangat penting, mengenai nama baik kantor instansi tempat dia pimpin.
Admin itu meraih telepon dan berbicara pada seseorang. Lima menit kemudian mengangguk padaku, mempersilakan aku menuju kantor Pak Wirawan yang sudah menunggu di lantai dua.
Dengan anggun langkahku berayun. Berhenti di depan pintu kayu jati berpelitur cokelat, aku mengetuk tiga kali, lalu mendorongnya pelan setelah ada sahutan dari dalam.
"Silakan duduk, Bu." Pria yang kutebak berusia sekitar 40-an itu mempersilakan aku duduk.
"Terima kasih, Pak," ucapku sembari mengangguk dan mengambil duduk di hadapannya.
"Hal apa yang ingin Ibu bicarakan dengan saya? Kalau tidak salah, Ibu yang menghubungi saya sore kemarin, bukan?"
Aku mengangguk. "Betul, Pak. Sebelumnya saya ingin memperkenalkan diri dulu. Nama saya Gauri, istri dari Pak Abdu."
"Pak Abdu? Oh ... Pak Abdu kepala teknisi kami. Ada apa, ya, Bu?" Alis Pak Wirawan bertaut.
"Maaf sebelumnya, Pak. Sebenarnya ini urusan saya pribadi. Namun, ini juga menyangkut nama baik instansi yang Bapak pimpin. Saya ingin melaporkan perbuatan suami saya yang tidak senonoh."
Pak Wirawan diam, masih fokus mendengarkan.
"Suami saya punya pasangan kumpul kebo. Mereka sudah menjalin hubungan terlarang di belakang saya secara diam-diam. Saya hanya ingin, Bapak tegas dan mengambil keputusan demi nama baik kantor ini. Saya punya bukti yang valid untuk itu."
Aku membuka ponsel dan memperlihatkan foto beserta video Mas Abdu dengan pasangan mesumnya pada pria itu. Setelah melihat semua bukti, pria berkacamata itu menggeleng dan berdecak menyayangkan.
"Saya akan menggugat cerai suami saya. Tapi, sebelum hal itu terjadi saya ingin melihat apakah Bapak bisa mendisiplinkan pegawai Bapak yang mencemarkan nama baik kantor ini. Bukankah hal-hal seperti ini merupakan tindakan memalukan yang tidak bisa ditoleransi, Pak? Saya menuntut keadilan untuk itu."
"Baiklah. Laporan Ibu saya terima. Saya akan menindak tegas permasalahan ini." Tanpa membuang waktu Pak Wirawan meraih telepon di atas meja kerjanya.
"Terima kasih, Pak. Sudah meluangkan waktu untuk saya. Saya pamit undur diri kalau begitu," kataku kemudian.
Pak Wirawan mengangguk padaku lalu berbicara pada seseorang yang mengangkat panggilannya. "Beritahu Pak Abdu untuk ke ruangan saya sekarang juga." Masih sempat kudengar perkataan Pak Wirawan sebelum pintu menutup di belakangku.
Di koridor yang menuju kantor Pak Wirawan, aku berpapasan dengan Mas Abdu. Keningnya berkerut heran. "Ngapain kamu di sini, Gauri?"
"Kejutan ...," ujarku lirih sembari tersenyum sinis. Aku melanjutkan langkah yang terhenti secara anggun, meninggalkan Mas Abdu yang masih menatap heran.
Lihat, kan, Mas! Aku pun bisa berpikiran licik. Mungkin kamu kira aku hanyalah perempuan bodoh yang bisa kamu bohongi. Asal kamu tau, aku tak akan menyia-nyiakan air mata lagi hanya untuk menangisi perilakumu. Masih ada Taksa dan juga adikku yang akan menjadi penyemangat hidupku ke depan nanti.
***
Setiba di rumah semua barang-barang Mas Abdu sudah ku-packing rapi di dalam koper besar dan juga beberapa tas. Niko membantu mengangkat, menyusunnya di sudut ruang tamu. Aku berencana akan mengusir dia dari rumah. Berdasarkan keputusan yang dulu pernah disepakati berdua, rumah ini untuk Taksa jika kami sampai berpisah.
Sesuai dugaanku, tak lama Mas Abdu pulang. Mobil sedannya melaju tak terkendali. Sesampai di pekarangan dia keluar seraya membanting pintunya dengan kasar. Setengah berlari, dia menghampiriku dengan napas yang memburu.
Untungnya Niko baru saja membawa Taksa pergi ke luar. Jika tidak, pasti lah dia melihat perilaku dan wajah beringas papanya ini. Menurutku bukan sesuatu yang pantas untuk ditiru.
"Apa yang kamu inginkan, Gauri? Lihat! Lihat ini!" Mas Abdu membanting sebuah amplop cokelat ke atas meja. Tanpa membukanya, aku tau pasti itu surat semacam sangsi untuknya. Sebab kulihat ada cap stempel merah terdapat di sana.
"Aku ingin bercerai, Mas. Aku nggak mau terikat pernikahan dengan pezina seperti Mas." Aku menjawab santai.
"Bercerai? Ha-ha-ha. Baik. Baik jika itu yang kamu inginkan. Aku ingin melihat apa yang bisa kamu lakukan tanpa aku." Mata Mas Abdu menyorot ke sudut ruangan, melihat semua barangnya sudah ku-packing dengan rapi.
"Aku udah merapikan semua barang Mas. Mas harus pergi sesuai dengan perjanjian yang pernah kita buat dulu."
Wajah Mas Abdu semakin beringas. Rahangnya mengeras. Tanpa bersuara, Mas Abdu mengambil barangnya itu satu per satu, memindahkannya ke mobil. Setelah semua barangnya dipindahkan, tanpa pamit dia pergi, meninggalkanku sendirian di ruang tamu.
Aku sudah berjanji pada diri sendiri untuk tidak menangis. Namun, pertahananku ambruk. Air mata yang terbendung sejak kemarin, jebol tak terkendali. Aku menangis sepuas hati. Biarlah, hanya kali ini. Biarkanlah aku menangis untuk meringankan beban di hati.
Ini keputusan yang tepat, Gauri. Di hati Mas Abdu hanya ada Freya saja. Meski kau mencoba bertahan dan berusaha mengambil hatinya, tetap saja Freya tak tergantikan. Ditambah lagi, Mas Abdu melakukan kebodohan dan kesalahan yang fatal. Dia melakukan perselingkuhan dengan Wulan. Mungkin dia hanya pelarian, tapi tetap saja Mas Abdu telah melakukan dosa besar dan tidak bisa ditoleransi.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Wanita Simpanan Suamiku
RomanceBenak Gauri dipenuhi dengan tanda tanya semenjak merebak kabar bahwa Freya, janda kembang sekaligus seseorang yang pernah menjadi bagian dari masa lalu suaminya, kembali ke kota tempat tinggal mereka. Apalagi Abdu, suaminya, mulai menunjukkan sikap...