"Hei, kalian di situ rupanya!" Laila muncul di ambang pintu dan melangkah mendekat. Dia mengambil duduk di kursi di sebelah kakaknya.
"Mana si Baby?" tanyaku.
"Aku tinggalin di rumah sama bapaknya. Nggak apa-apa. Kan, sekali-sekali." Laila nyengir. "Oh, ya, Kak. Tadi aku liat sedan Abdu di parkiran. Kakak udah ketemu?"
Ali menggeleng kemudian menatapku. "Dia sengaja aku undang. Nggak apa-apa, kan, Gauri?"
Aku mengangguk. "Nggak apa-apa, Mas. Beberapa hari yang lalu kami bertemu. Waktu dia melihat anaknya di rumah."
Hening.
Laila seperti menyesal sudah menyebut nama Mas Abdu di depanku. Setelahnya dia permisi, ingin mengecek persiapan yang lain.
Satu per satu teman-temanku mulai berdatangan. Mungkin sebab merasa canggung, Ali berdiri dan bergabung bersama teman-teman seangkatannya.
Aku pun bisa bernapas lega. Setelah pengakuan Ali tadi, suasana jadi canggung dan kikuk jika hanya berdua saja dengannya. Untunglah pria itu tak terus-terusan bersamaku.
Ruangan menjadi hiruk pikuk oleh suara-suara kami sekaligus suara langkah anak-anak yang berlari ke sana ke mari. Ya, sebagian dari temanku membawa anaknya sebab mereka bilang tidak ada yang menjaga bocah kecil mereka di rumah.
Pukul 19.05 acara dimulai. Dodot dan Laila menjadi MC. Ucapan syukur dan terima kasih mereka lantunkan, menjadi kalimat pembuka acara. Kemudian pemberian cinderamata untuk guru-guru yang diundang ke acara reuni ini.
Mataku tak sengaja menangkap sosok Mas Abdu duduk di pojok paling belakang, saat Laila tertawa mendengar candaan Dodot di atas panggung. Mas Abdu sudah mencukur kumis dan jenggotnya. Dia sedikit terlihat lebih rapi ketimbang kemarin.
Tatapanku beralih lagi ke panggung di mana Dodot memimpin doa penutup. Setelahnya acara bebas. Kami menikmati snack sambil karokean jika ada yang ingin menyumbangkan lagu.
Pukul 20.30 aku kebelet pipis. Setelah pamit pada beberapa teman, aku menuju toilet di dekat musala sekolah. Namun, belum lagi mencapai tempat tujuan, aku mendengar dua orang sedang beradu argumen.
"Jadi, hidup seperti ini yang kamu inginkan, Du?!" Suara Ali sedikit meninggi.
"Hidupku bukan urusanmu, Li. Minggir, aku mau pergi." Jawaban Mas Abdu datar seperti tanpa ekspresi.
Ali berdecak. "Bodoh. Lelaki bodoh!" Tak ada sahutan dari Mas Abdu. "Di mana Abdu yang dulu kukenal? Lelaki yang percaya diri dan punya semangat tinggi?"
Mas Abdu masih diam.
"Jawab, Du!"
"Minggir, Li."
"Jawab!"
Buk!
Ali memukul hingga Mas Abdu jatuh terduduk. Bukannya marah atau membalas, Mas Abdu hanya menyeka darah dari sela bibir, lalu sambil tetap duduk, dia menyandarkan tubuh ke tembok di sisi toilet. "Aku nggak akan membalas. Kamu udah kuanggap seperti saudara kandungku, Li."
"Arrggh!" Ali berteriak, meninju tembok di atas kepala Mas Abdu. Tampak sekali dia sedang kesal.
Aku menjerit tertahan mendekap mulut dengan kedua tangan. Untungnya suaraku tidak terdengar oleh mereka.
Ali menjatuhkan diri, bersandar di sebelah Mas Abdu. Lama mereka duduk dalam diam. Aku pun sama. Tidak mencoba pergi, sebab rasa penasaran membujuk agar aku mendengarkan lagi percakapan mereka.
"Kenapa harus Wulan? Kamu tau dia itu betina culas berhati iblis."
Mas Abdu menggeleng. "Aku juga manusia, Li. Aku banyak kekurangan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Wanita Simpanan Suamiku
RomanceBenak Gauri dipenuhi dengan tanda tanya semenjak merebak kabar bahwa Freya, janda kembang sekaligus seseorang yang pernah menjadi bagian dari masa lalu suaminya, kembali ke kota tempat tinggal mereka. Apalagi Abdu, suaminya, mulai menunjukkan sikap...