Seperti biasa Mas Abdu berangkat ke kantor pukul 07.00 pagi. Setelah yakin sedan putihnya berjalan pergi, aku kembali ke ruang makan, meraih gawai di atas meja kemudian mencari nama Niko—adikku—di daftar kontak. Lalu dalam hitungan detik aku sudah melakukan panggilan ke nomor tersebut.
"Assalamualaikum, Dek! Kamu sibuk nggak hari ini?" Tanpa membuang waktu aku langsung bertanya pada Niko yang mengangkat panggilan teleponku di menit pertama.
"Nggak, Mbak. Kenapa?"
"Kamu bisa nggak anterin mbak hari ini?" Aku balik bertanya.
"Bisa. Emang Mbak mau ke mana?"
"Nanti aja mbak kasih tau kalo kamu udah tiba di sini. Mbak mau beres-beres rumah dulu. Kalo udah kelar, Mbak telepon kamu lagi, ya?"
"Oke, Mbak. Lima menit lagi aku jalan."
Aku mematikan panggilan telepon, lalu membuang napas kasar kemudian meraih sapu dan kemoceng. Tunggu saja kamu Mas Abdu. Aku akan mengintai gerak-gerikmu hari ini dan ingin melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana tingkahmu di luaran sana. Enak saja. Sedangkan aku sendiri, lihatlah. Hendak keluar saja harus bebenah isi rumah dulu. Huh!
~AA~
"Sebenarnya kita mau kemana, sih, Mbak?" Niko bertanya sambil menyetir. Dia fokus menatap jalanan di depannya.
"Mbak mau mengintai Mas Abdu, Dek," jawabku sembari sesekali melirik ke Taksa yang sedang tertidur pulas di jok belakang. Kasihan anakku itu. Dia terpaksa tidur siang di dalam mobil pamannya. Jika saja bukan karena ulah si papa, saat ini Taksa pasti sedang tidur nyaman di ranjang tidurnya.
"Mengintai?" Dahi Niko berkerut pertanda bingung.
"Sikap kakak iparmu itu beberapa hari ini mencurigakan," jawabku. "Tiap malam selalu begadang. selalu berlama-lama di ruang kerja. Pernah dua kali Mbak pergoki dia sedang berbicara dengan seseorang via telepon. Padahal waktu itu udah tengah malam. Entah dengan siapa." Aku menggerutu panjang lebar.
"Mungkin lagi teleponan dengan klien, Mbak. Kan Mas Abdu tenaganya dibutuhkan seharian full alias 24 jam. Iya, kan?" Sepertinya Niko mencoba berpikir positif terlebih dahulu.
"Tapi yang Mbak dengar dia panggil 'sayang-sayang', Dek. Itu bukan hal yang wajar." Aku melirik sinis ke jalanan yang terbentang di hadapan kami.
"Sayang?"
"Dan pas Mbak tanya ke dia, ada aja alasannya. Kamu tau sendiri, kan, kalo Mas Abdu itu pintar berkilah."
"Terus sekarang tujuan kita kemana ini, Mbak?"
"Ke kantor Mas Abdu aja dulu. Kita parkirin mobil dari jarak jauh. Nanti kita ikuti kemana dia pergi sehabis pulang dari kantor."
"Aku ikut perintah Mbak aja, deh. Tapi aku berharap semoga kecurigaan Mbak nggak terbukti." Niko menggaruk kepala. Tampaknya adikku satu-satunya itu tak dapat menolak kehendak dari sang kakak perempuan.
~AA~
Niko memarkirkan mobil tepat di bawah pohon yang rindang. Tempat yang tidak mencurigakan jika dilihat dari kantornya Mas Abdu. Sedari tadi pandanganku tak lepas dari bangunan tiga lantai itu, mengawasi dan mencari sosok pria yang kunikahi tujuh tahun yang lalu. Kulirik jam di layar ponsel. Biasanya lima menit lagi Mas Abdu sudah turun dari lantai dua di mana kantornya berada.
Benar saja, sosoknya terlihat menuju ke parkiran yang terletak di halaman gedung kantor. Dia melangkah santai tapi tegap sebagaimana ciri khas caranya berjalan. Aku memerintah Niko agar bersiap-siap. Sebab kulihat Mas Abdu sudah masuk ke dalam mobilnya. Kemudian sedan putih itu perlahan meninggalkan area parkir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wanita Simpanan Suamiku
RomanceBenak Gauri dipenuhi dengan tanda tanya semenjak merebak kabar bahwa Freya, janda kembang sekaligus seseorang yang pernah menjadi bagian dari masa lalu suaminya, kembali ke kota tempat tinggal mereka. Apalagi Abdu, suaminya, mulai menunjukkan sikap...