Pertemuan yang tidak terduga antara aku dan Laila, membuatku menjalin kembali tali silaturahmi dengan teman-teman masa sekolah. Bahkan Laila juga mengundangku ke dalam grup alumni.
Hal itu membuat ponselku sering berdenting. Aku jarang nimbrung. Hanya sesekali saja menjawab pertanyaan jika salah satu dari teman men-tag namaku. Yah ... setidaknya obrolan mereka menjadi hiburan tersendiri. Apalagi saat mereka beramai-ramai meledek Dodot.
Aku, Laila dan Dodot adalah teman sekelas di SMP Nusa Bangsa. Dulu melalui Dodot aku sering menitipkan kue buatanku untuk Mas Abdu. Aku tau jika mereka teman karib dan aku juga tau bahwa Mas Abdu jarang jajan.
Kami sering bertemu di perpustakaan. Meski beda jenjang sekolah, aku di bangku SMP sedangkan Mas Abdu di SMA, tapi sekolah kami berada di satu kawasan yang sama.
Di perpustakaan itu pula pertama kali aku melihatnya. Tertidur di sudut ruangan perpustakaan dengan buku menutupi sebelah muka. Wajahnya terlihat sangat lelah, lalu di kemudian hari baru aku mengetahui tentang kisah hidup Mas Abdu. Sungguh aku bersimpati dan rasa itu semakin lama berubah jadi cinta.
Ah, aku menggeleng berusaha mengenyahkan bayangan masa lalu yang tiba-tiba menyeruak ke ingatanku. Terkadang aku masih belum percaya mengapa Mas Abdu berubah. Yang awalnya dia pendiam, bahkan takut menatap sorot tatapan perempuan, menjadi pria tukang selingkuh seperti saat ini.
Namun, semenjak berpisah denganku, penampilan Mas Abdu berbeda drastis. Rambutnya tak lagi klimis. Kaosnya kusut. Jambang dan kumis menghiasi wajahnya. Ditambah warna kulitnya agak kecoklatan. Tubuhnya pun terlihat lebih kurus.
Aku bertemu dengannya beberapa hari yang lalu saat dia ingin bertemu Taksa. Kuperbolehkan dia datang ke rumah, tapi hanya sebatas ruang tamu saja. Aku tak mau menjadi gunjingan para tetangga sebab status kami bukanlah pasangan suami istri lagi.
Melihat kondisinya seperti itu, sejujurnya aku merasa agak kasihan. Namun, berdasarkan hukum alam, menurutku ada sebab ada akibat. Itulah akibat atas pilihan yang telah Mas Abdu buat.
Aku mengembuskan napas, kembali menatap barisan chat alumni dan membaca pesan yang terakhir.
[Jadi gimana, Gauri? Bisa, kan, untuk snack nanti kamu yang nyediain?] Pesan dari Laila.
[Eh, maap. Aku kurang fokus. Bisa jelasin lagi? Aku malas manjat, nih.] Kuberi emot monyet sedang menutup wajah.
Setelahnya, temanku yang lain kompak menyoraki. Ah, malu sekali.
[Rencananya kita mau ngadain reuni akbar. Dari angkatan 2004 sampai 2006. Bukan alumni SMP aja, SMA juga. Ini berdasarkan permintaan dari yang lain. Mengenai biaya ini itu, kita bisa mengumpulkan dana dari sekarang. Bagaimana?] Laila menjelaskan panjang lebar.
[Oh, gitu. Aku setuju. Mengenai snack, nanti aku kasih harga khusus, deh,] balasku.
[Yeay, asyikk.]
[Kortingannya yang banyak, ya, Gauri.]
[Woah, senangnya. Gak sabar menunggu hari itu.]
Banyak lagi balasan dari teman yang lain. Setelah melihat tak ada lagi perbincangan yang serius, aku pamit pada mereka bersiap tidur dan mempersiapkan diri untuk hari berikutnya.
***
Hari reuni pun tiba. Selama dua minggu kami mempersiapkan semuanya bersama. Laila meski punya bayi dia yang paling bersemangat untuk acara ini. Katanya tidak sabar bernostalgia dan bertemu teman-teman lama.
Snack pun sudah ku-packing rapi, tinggal dibawa saja. Kata Laila lagi, Ali yang akan menjemputnya.
Acara reuni dilaksanakan di gedung sekolah pada pukul 19.00 malam. Karena diikutsertakan dalam tim panitia, aku harus datang lebih awal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wanita Simpanan Suamiku
Roman d'amourBenak Gauri dipenuhi dengan tanda tanya semenjak merebak kabar bahwa Freya, janda kembang sekaligus seseorang yang pernah menjadi bagian dari masa lalu suaminya, kembali ke kota tempat tinggal mereka. Apalagi Abdu, suaminya, mulai menunjukkan sikap...