Usaha baruku semakin berkembang. Dari mulut ke mulut, kue-kue buatanku semakin dikenal oleh banyak orang. Dari situ pula muncul ideku untuk merambah ke bisnis online. Sehingga para pelangganku lebih mudah jika ingin memesan dan menikmati kue-kue buatanku.
Berkat pesanan yang kian hari kian banyak, aku bisa mempekerjakan dua orang untuk membantuku. Tak lain adalah tetanggaku sendiri, yang juga seorang janda dan pejuang nafkah bagi anaknya. Tentu saja buatku ada rasa kebahagian tersendiri bisa membantu dan membahagiakan orang lain.
"Bu Dewi dan Bu Dian aku tinggal dulu, ya. Yang ini harus diantar sekarang. Orang yang pesen barusan telepon. Minta buru-buru." Aku berdecak. Seharusnya pesanan ini diantar dua jam lagi. Namun, si pemesan minta diantarkan sekarang juga. Untung kue-kue itu sudah siap di-packing dan dimasukkan ke dalam kardus-kardus.
"Lah, bukannya jam 1 nanti, Mbak Gauri? Kok, ndesak-ndesak, sih." Bu Dian sedikit protes.
Aku tertawa melihat ekpresinya. "Nggak apa-apa, Bu. Pembeli adalah raja," jawabku. "Lagian yang mesen juga udah transfer dan tanpa menawar."
Meski Bu Dian protes, dia tetap bergegas membantuku membawa kardus berisi kue-kue pesanan yang akan diantar dan meletakkannya ke keranjang khusus di boncengan motor.
Setelah semuanya siap, aku pun bergegas meraih kunci motor dan menyalakan mesinnya. Alamat yang diberikan padaku tidak begitu sulit ditemukan. Apalagi si pemesan sudah mengirim lokasi via Google Map.
Tiga puluh menit kemudian tibalah aku di sebuah rumah berhalaman luas. Ada beberapa mobil dan motor berjejer di sana. Tampaknya si empunya rumah sedang ada acara.
Aku meraih ponsel dan melakukan panggilan ke nomor pembeliku itu. "Mbak, saya udah di depan rumah." Aku memberitahu saat dia menerima panggilan teleponku.
"Oh, iya. Tunggu sebentar, ya, Mbak. Saya suruh kakak saya yang ambil kue-kuenya."
"Baik, Mbak. Terima kasih." Aku mematikan panggilan telepon dan turun dari motor. Saat hendak mengambil kardus-kardus berisi kue buatanku dari dalam keranjang yang terikat di boncengan, suara yang tidak asing tiba-tiba menyapa dari arah belakang.
"Gauri!"
"Eh!" Aku terkejut dan berbalik. Menatap Ali, sahabat Mas Abdu di jaman sekolah dulu, sudah berdiri tak jauh dariku. "Mas Ali."
"Ngapain kamu di sini?" Lalu dia melirik ke keranjang di boncengan. "Jadi yang nganterin kue itu kamu?! Ya ampun, nggak nyangka bisa ketemu di sini."
Aku mengangguk. "Mas juga ngapain di sini?" Aku balik bertanya.
"Ini rumah adikku, Laila. Biasa acara keluarga."
Ah ... ya ampun. Jadi pelangganku yang bawel itu Laila. Aku tidak mengenalinya. Sebab foto di profil Whatsapp-nya tidak menggunakan foto diri.
"Kak Ali! Kok, lama, sih?!" Laila muncul di ambang pintu. Sambil menggendong bayinya, dia menatap ke arah kami. Aku tersenyum dan mengangguk ke arahnya. "Ya ampun! Jadi yang tadi kamu, Gauri! Ayo, sini masuk dulu jangan bengong di situ."
Laila masih sama, bawel dan berisik. Aku jadi teringat di mana kami masih bersekolah dulu.
"Yuk, mampir dulu!" Ali bergerak mendekati keranjang, meraih kardus-kardus kue secara sekaligus. Dia membawanya ke dalam rumah Laila. Laila pun melambai padaku, memberi kode agar aku ikut masuk ke rumahnya.
Mau tidak mau aku mengikuti langkah Ali. Hmm, tak apa-apalah. Lagian pekerjaan di rumah bisa di-handle Bu Dewi dan Bu Dian. Beberapa bulan setelah bekerja padaku, mereka sudah ahli dalam membuat kue. Taksa juga sedang bermain bersama anak-anak mereka. Tidak masalah jika meninggalkannya barang sebentar.
Setelah membawa kue pesanan ke dalam rumah, Ali keluar lagi. Aku mengikutinya duduk di kursi rotan yang terdapat di sudut teras. Laila pun juga ikut bergabung, sambil membawa nampan yang berisi tiga gelas sirop dan camilan.
"Duh, senangnya aku. Kita berasa lagi reunian." Laila tersenyum, meletakkan nampan tadi ke atas meja di depan kami kemudian duduk di kursi yang berbeda.
"Pas kalo ada Abdu," celetuk Ali. Laila yang mendengarkan langsung menjawil kaki kakaknya agar tidak menyebut nama itu lagi. "Eh, maaf, Gauri."
Aku menggeleng. "Nggak apa-apa, Laila. Aku minum, ya." Aku meraih gelas dan minum beberapa tegukan, untuk menghilangkan rasa kikuk yang mendera setelah nama Mas Abdu disebut.
Pastilah mereka sudah tau kabar perihal perceraian kami. Kota ini kecil. Gosip apapun pastilah mudah tersebar ke segala penjuru.
"Lagian, si Bodoh itu. Apa, sih, yang dia pikirkan? Sama Wulan lagi." Ali menggeleng dan berdecak.
"Kak Ali! Jangan dibahas kenapa, sih?" Laila melotot pada kakaknya. Lalu memandangku tak enak.
Tangan kananku mengibas. "Aku sudah nggak apa-apa, Laila. Aku udah move on." Aku tertawa meyakinkan.
"Salah Kak Ali juga, sih. Kenapa ngotot menjodohkan Abdu dengan Gauri. Padahal aku tau dulu di sekolah Kakak menaruh hati pada Ga—" Ucapan Laila tidak selesai. Sebab mulutnya dibekap keras oleh Ali membuatku penasaran apa yang ingin diucapkan Laila selanjutnya.
"Bukannya gitu, Dek. Waktu itu kakak pikir Abdu butuh Gauri untuk mendampinginya. Kakak juga tau Gauri naksir Abdu sejak di sekolah. Kakak nggak tega melihat Abdu terpuruk setelah ditinggalin Fre—" Kali ini mulut Ali yang ditutup menggunakan telapak tangan adiknya.
"Aku udah tau mengenai hal itu. Mas Abdu pernah mengaku padaku. Bahwa ada Freya di hatinya." Aku tersenyum. Namun, tipis. Mataku lekat menatap gelas di tangan sambil memainkannya. "Pasti kalian udah dengar penyebab perceraian kami. Yang aku sayangkan, kenapa Mas Abdu melakukan kebodohan dan merugikan dirinya sendiri. Hanya itu," tambahku.
Hening.
Ali dan Laila terdiam. Mungkin mereka tak mengira aku bisa sekuat ini, bisa berbicara santai mengenai lukaku tanpa adanya air mata. Ah, mereka tidak tau air mataku sudah habis tak bersisa. Terbuang percuma di tahun pertama perpisahanku dengan Mas Abdu.
"Aku belum bertemu dengan Abdu. Terakhir kali Dodot bilang, setelah berhenti dari pekerjaannya dia menjadi petani. Abdu membeli lahan nggak jauh dari kebunnya Dodot." Ali menggeleng. "Biarlah. Mungkin dia ingin menyendiri seperti dulu sambil memikirkan semua kesalahan-kesalahannya."
Aku meneguk sisa air di gelas sampai habis. Lalu meletakkannya di meja. "Aku pamit, ya, Laila. Makasih minumannya." Aku berdiri.
"Sering-sering mampir ke sini, ya, Gauri. Kan udah tau alamatku." Laila juga berdiri mengantarkanku hingga pagar rumahnya.
Aku mengangguk pada Laila lalu memberi lambaian ke arah Ali yang masih menatapku dari kursi teras dengan sorot mata yang entah.
Tatapan yang dia berikan masih sama. Tak pernah berubah meski beberapa tahun sudah terlewati. Setelah menyalakan mesin, kukendarai laju motor pulang ke rumah.
Tiba-tiba aku penasaran dengan ucapan Laila yang tidak selesai tadi. Benarkah Ali naksir aku? Aku pikir pengakuannya jaman sekolah dulu hanyalah sebuah gurauan. Aku pun menganggap biasa pada perhatian-perhatiannya yang sepele, tetapi manis.
Aku menggeleng berusaha mengenyahkan bayangan masa lalu. Ah ... fokus Gauri. Fokus! Itu bukan urusanmu. Mengenai omongan tentang Ali yang belum menikah dan masih berharap pada cinta masa sekolahnya, itu juga tak berhak kamu pikirkan.
Ali seorang pengusaha sukses dan dari keluarga mampu. Tentulah dia bisa mencari gadis terbaik yang masih lajang. Bukan janda dari sahabatnya sendiri.
Kugoyangkan kepala agak keras berusaha mengusir pikiran yang tidak-tidak. Lalu, kulajukan motor kencang ke rumah di mana anak semata wayangku sedang menunggu kepulanganku.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Wanita Simpanan Suamiku
RomanceBenak Gauri dipenuhi dengan tanda tanya semenjak merebak kabar bahwa Freya, janda kembang sekaligus seseorang yang pernah menjadi bagian dari masa lalu suaminya, kembali ke kota tempat tinggal mereka. Apalagi Abdu, suaminya, mulai menunjukkan sikap...