Chapter 47

986 150 30
                                    

Julian sudah hampir setengah jam berdiri di depan pintu kamar Arsen. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Julian capek. Dia ngantuk. Tapi dia ingin tidur bersama Arsen. Walau memang rasanya sedikit mustahil jika Arsen berminat untuk berbagi kamar dengannya kali ini.

Julian lalu memberanikan diri untuk mengetuk pintu kamar Arsen. Beberapa kali pintu itu di ketuknya, namun tak ada jawaban. Hingga beberapa saat kemudian, pintu pun ia buka.

"Ada apa sih?" tanya Arsen dengan wajah masih ngantuk.

Julian melihatnya tidak enak hati. Sepertinya Arsen sudah tidur, namun terganggu. "S-sorry, Sen. Lo udah tidur ya?"

Arsen mendengus sebal, "Keliatannya gimana?"

Ditanya balik seperti itu, Julian memilih diam.

"Ada apa, Jul? Gue ngantuk banget nih. Capek" ujar Arsen yang mengenakan kaus polos putih dan celana boxer pendek sepaha.

Julian malah gelagapan, "Mmm... g-gue..."

"Gue apa?" tanya Arsen.

"Gue gak boleh tidur di kamar?" tanya Julian.

Arsen menclinguk ke dalam kamarnya dengan nyawa yang belum ngumpul. "Emang kita sekamar ya?" tanya Arsen.

Julian mengangguk. "Iya"

"Sejak kapan?" tanya Arsen lagi.

Julian memejamkan matanya, sedih. Berusaha kuat dihadapan laki-laki yang kini terlihat menyebalkan itu. Dia tak bisa menjawab.

"Duh, untuk sementara, kamu bisa kan tidur di kamar mana dulu gitu? Atau di sofa kek, kalau kamu gak keberatan, Jul" ujar Arsen.

"Kenapa?"

"Ya karena saya butuh sendiri dulu!" cetus Arsen, bernada tinggi. "Walaupun kita pacaran atau saya telah memiliki calon anak dari kamu, bukan berarti kamu bebas untuk terus mengusik hidup saya dengan bayang-bayang kamu setiap hari, kan?"

Deg. Jantung Julian seakan beehenti berdetak kala mendengar kalimat monohok dari Arsen barusan. Sungguh, ini bukan Arsen. Arsen seumur hidupnya tidak pernah memberikan kalimat pedas untuk Julian.

"Udah kamu tidur aja dimana dulu kek. Atau mau saya yang tidur di tempat lain, kalau memang kamu mau tidur di kamar ini???" tanya Arsen.

Ucapan Arsen sama sekali tak lagi ada kesan menghargai Julian lagi. Mata Julian berkaca-kaca lagi. Julian sakit hati. Tapi lagi-lagi dia tetap harus bersabar. Lantas Julian memilih meninggalkan Arsen di ambang pintu setelah dia mengucapkan satu kata, "Oke" hanya dengan napasnya.

Arsen menatap punggung Julian dengan getir. Kasihan lagi. Merasa bersalah lagi. Tapi dia kesal. Dia pun kembali ke dalam kamarnya sambil membanting pintu. Seiring dia berteriak sekencang-kencangnya. "AAAAAARRRGGGGHHHHH!!!"

Arsen menangis dan terduduk di bawah ranjang tidurnya. Dia marah. Dia benci. Dia kesal dengan keadaan yang membuatnya hampir mati kebingungan. "Kenapa gue gak bisa inget semuanya???"

Satu senggukan tangis menyela ucapan Arsen lagi. "Gue gak tau gue ini siapa. Gue gak bisa terus-terusan begini!!! Ya Allah, toloooong... tolong saya! Apa memang saya dan Julian tidak bisa kau persatukan??? Kenapa rasanya saya tidak memiliki perasaan apapun terhadap Julian???"

~

Julian menangis bersedih di kamar ke empat, sambil memandangi fotonya bersama Arsen. Setiap derai air mata yang ia keluarkan selalu didasari dengan nama Arsen serta doa yang terpatri untuknya.

"Ya Allah, saya sudah tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. Dan orang yang saya cintai, sekarang sudah lupa dengan saya. Saya sudah tidak ada artinya lagi untuk dia, ya Allah. Apa yang harus saya lakukan untuk membuat Arsen kembali ke pelukan saya? Saya tau itu salah, tapi rasa ini bukan saya yang meminta ya Allah. Bukan pula satu tindakan kriminal. Saya mohon ya Allah... jika diperbolehkan... tolong kembalikan Arsen pada saya. Biarkan kami bahagia untuk dalam hidup yang kali ini" ratap Julian, penuh sesak.

~

Arsen terus menangis sampai pandangannya terjatuh pada satu boneka yang berbeda warna dari boneka lainnya. Seluruh boneka Arsen berdominan Angry Birds berwarna merah. Sedangkan satu boneka babi berwarna biru muda itu turut menghentikan tangisnya.

Arsen berdiri dari duduknya. Lalu dia berjalan menuju boneka tersebut dengan pelan. Dia menyeka air mata di pipinya. Dengan batin yang terluka. Dengan perasaan yang kacau tak keruan, dia melangkah menuju rak putih itu.

Diambilnya boneka babi biru kecil itu dengan pelan. Ditatapnya dengan lamat. Satu detik. Dua detik. Lima detik.

Hitam putih negatif.

Pusat permainan yang ramai. Banyak keceriaan. Games. Teka-teki. Wahana sederhana. Orang-orang berteriak di rollercoaster. Dua wujud berada di hadapan sebuah mesin pengait boneka.

"Susah! Gak bisa!"

"Mana sini, Arsen coba"

"Lu coba dah tuh. Kalo bisa, gue traktir makan malem!"

"Oke! Deal!" Lelaki itu turut mengarahkan pencapit tersebut ke arah boneka yang berserakan secara random.

Begitu pencapit itu berhasil mengambil satu boneka babi itu, lelaki satunya berujar, "Nah, tinggal bagian pindahinnya tuh yang susah! Pasti bonekanya lepas"

"Gampang!"

"Gimana caranya?"

Lelaki itu turut mendorong mesin mainan tersebut sehingga boneka yang dicapitan tersebut bergerak ke kiri dan sempurna masuk ke dalam lubang. Boneka babi itu keluar dari mesin mainan tersebut.

"Yeee dapet kan!!!" teriak lelaki itu.

Lelaki satunya geleng-geleng, "Dasae curang!"

"Yang penting dapet! Walaupun boneka babi"

"Iye, mirip sama kelakuan lo!"

"Enak aja! Jangan lupa hadiah makan malem!"

"Iye iye ah!"

Hitam putih negatif itu menghilang, memudar lagi.

Arsen terengah sesaat, sambil sedikit meringis ngilu di kepalanya. Napasnya tersengal-sengal. "Gue... gue yang berhasil ambil boneka ini" tutur Arsen. "Sama Julian kah?" Arsen bingung lagi. Dia ingat dia pernah memainkan permainan capit boneka tersebut walau masih samar-samar.

~

Keesokan paginya Arsen sudah rapih di meja makan bersama Robert dan Daddy-nya.

Mata Arsen mencari-cari sesuatu. Bukan benda. Melainkan seseorang. Siapa lagi kalau bukan Julian.

"How's your sleep tonight, Honey?" tanya Tuan Arkan.

Arsen mengangguk-angguk sambil terus memandangi pintu kamar ke empat. Kamar yang ditiduri Julian tadi malam. "Good" jawab Arsen pada Daddy-nya.

"Terus gimana dengan keadaan kamu sekarang?" tanya Tuan Arkan lagi.

Arsen mengangkat bahunya, "Had been better"

"Thank God" syukur Tuan Arkan.

"Mmm... Julian mana, Bert? Gak ikut sarapan?" tanya Arsen to the point pada Robert.

Robert pun berdiri, "Biar saya panggilkan dulu, Tuan" ujar Robert.

Bersamaan dengan Robert yang hendak melangkah, Pak Muhlis berjalan cepat ke arah meja makan, membuat Robert tidak jadi melanjutkan langkahnya.

"Mohon maaf, Tuan Besar, Tuan Muda. Saya ingin menyampaikan sesuatu" ujar Pak Muhlis.

"Apa itu, Muhlis?" tanya Tuan Arkan.

"Mas Julian pamit ke saya pukul empat pagi tadi, Tuan" ujar Pak Muhlis.

"Hah?" Arsen tak menyangka.

"What? Are you sure?" tanya Tuan Arkan.

"Iya, Tuan" ujar Pak Muhlis.

"Pamit kemana, Pak?" tanya Arsen.

"Pulang ke rumahnya di perumahan. Dia juga menitipkan ini ke saya, dia bilang, tolong kasih ke Tuan Besar, katanya" ujar Pak Muhlis sambil memberikan sebuah kartu kredit berwarna hitam pada Robert.

Arsen lagi-lagi harus mendera rasa bersalah dan kebingungan. Kenapa dia pergi?

TO BE CONTINUED

STUCK ON YOU 2 (END 21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang