Hari ini, adalah pembagian rapor kelas sepuluh, aku sudah sangat yakin seyakin-yakinnya, bahwa aku pasti yang mendapat juara pertama. Bagaimana tidak, aku merasa bahwa satu semester ini akulah murid yang paling aktif, baik di kelas maupun kegiatan di luar kelas. Nilai selalu bagus, meski kadang ada juga teman lainnya yang nilainya lebih tinggi, tapi aku punya poin plus, aku rajin membantu guru, aku juga mengikuti hampir semua eksrakurikuler. Jadi, sudah pasti aku yang menang. Pikirku.
Pagi ini, aku dan Ibu pergi ke sekolah untuk mengambil hasil belajarku, dengan percaya diri tentunya aku melangkah. Di setiap perjalanan menuju sekolah, aku membayangkan betapa Ibu akan memelukku bahagia karena aku mendapat rangking satu. Jadi tak sabar.
Setibanya di depan ruang rapat, aku memilih kursi untuk Ibu duduk di barisan paling depan. Agak lama menunggu pengumuman, dikarenakan sejak dimulai rapat, ada acara sambutan dari komite dan kepala sekolah, juga pembahasan uang semesteran. Beberapa jam, hingga akhirnya acara yang ditinggu-tinggu tiba. Aku tersenyum sumringah, terngiang di telinga bahwa namaku yang disebut pertama.
"Juara pertama kelas 10 diraih oleh ... selamat kepada Ananda Rini," ucap Bapak Wali kelas.
Hah ... aku terperangah, tak percaya akan apa yang baru saja kudengar, Rini? Dia kan pendiam, mana mungkin? Mukaku pias seketika kecewa, mungkin dia itu cerminan dari pribahasa "Air tenang menghanyutkan" sedang aku yang congkak ini "Air beriak tanda tak dalam."
Tapi, masih ada kesempatan, mungkin namaku yang kedua.
"Juara kedua, diraih oleh ... Nita." ucap Bapak Wali Kelas, lagi.
Dia? tanyaku dalam hati. Kenapa harus mereka, mungkin yang ketiga aku.
"Juara ketiga, diraih oleh ... Nisa." Lagi-lagi bukan namaku yang disebut. Aku geram!
Saat pembagian hadiah kepada ketiga orang tadi, aku tak henti mendengus kesal, kenapa? Aku merasa usahaku selama ini sia-sia. Tapi ... tunggu dulu! Aku berfikiran lain.
Aku pergi ke luar ruangan, tentu tak berani mengatakan ini langsung, aku berkacak pinggang, ada beberapa teman dibelakangku tengah mengobrol, aku mendengarkan.
"Eh, gak nyangka ya si Rini, hebat dia bisa ngalahin anak belagu itu," ucap Pearl, aku tahu yang dia maksud itu aku, emosiku memuncak kini.
"Heh! Apa maksud lu? Maksud lu gue kalah gitu? Asal lu tahu ya, ada kecurangan saat penilaian, bisa aja kan mereka nyogok Wali Kelas supaya dapet rangking." ucapku dengan penuh penekanan.Tak kusangka, Pak Wali Kelas menatapku dari dalam ruangan. Ah, semoga saja dia tak mendengar.
Setelah Ibu menerima raporku, kalian tahu aku peringkat berapa? Sepuluh besar? Lima besar? Salah! Aku mendapat peringkat ke-21 dari 30 siswa. Oh, aku sungguh tak percaya.
Sesampainya di rumah, tebak apa yang akan terjadi. Jelas, Ibu mulai bertanya padaku kenapa peringkatku bisa seburuk ini, karena sebelum-sebelumnya tak pernah ada di posisi ini, paling-paling masuk 10 besar.
"Aku udah berusaha, Bu. Mungkin Wali Kelasnya aja yang curang," ucapku pada Ibu
"Wali Kelas curang gimana? Jangan meyalahkan apalagi menuduh orang lain atas kesalahan kamu sendiri. Kesalahannya mungkin ada di kamu, Ibu perhatikan kamu jarang belajar di rumah, Ibu gak maksa dan menekan kamu untuk dapat peringkat satu, tapi Ibu heran kenapa peringkat kamu bisa seturun ini?" kata Ibu
"Gak tau, aku juga gak tau, Bu." jawabku sambil masuk ke dalam kamar, aku sungguh sedih.Mungkinkah? Ini karena kesombonganku, menganggap bahwa akulah yang tetbaik di antara mereka, menganggap lemah semua orang. Ah, mungkin benar begitu. Lain kali, aku tak boleh merendahkan orang dan merasa diri paling baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Antologi Cerpen Y. F. Nuraini
Short StoryBerbagai rasa dalam kehidupan ini, alangkah lebih indah dan berarti, bila diekspresikan melalui tulisan. Bukan hanya tentang mendapat kelegaan setelah menuangkannya, tapi juga tentang sebuah karya, yang dapat dibaca untuk menjadi pelajaran.