Entah, semenjak Stevan, kakak kelas yang dulu aku sempat terbuai pesonanya ternyata hanya menjadikanku permaian belaka, rasanya tak ingin lagi terulang, untuk terlalu mudah terbawa persasaan.
Kini, tak mudah lagi bagi hati untuk menerima kehadiran orang baru, biar saja ruangnya kosong dulu, belum mau untuk jatuh cinta lagi, apalagi terbawa hanyut oleh perasaan sendiri, sebelum memastikan bahwa sang penakluk hati benar-benar mencintai.
Sekarang, tak ada yang spesial, perlakuan dan perasaan pada siapapun tak ada bedanya. Dekat, akrab, semuanya tak ada yang khusus posisinya, sebatas teman.
Seperti malam ini, sudah sekitar satu bulan ini, aku sering mengisi waktu malam dengan Justin, adik kelasku. Mungkin karena kami sering bertemu di ekstrakurikuler paduan suara. Dia orang yang mulanya sering kutertawakan karena sikap konyolnya, hingga akhirnya dia mengirim pesan melalui messenger.
[Kak, ini aku Justin. Kayaknya kakak belum masuk grup paduan suara yang baru di messenger, ya? Mau aku masukkan ke grup?] tanyanya.
[Boleh] jawabku singkatWaktu itu aku tak yakin, menurut artikel yang kubaca tentang 'tanda-tanda pria suka padamu' biasanya laki-laki bertanya hal-hal kecil di awal chatting karena kebingungan mencari topik untuk memulai percakapan. Namun, aku masih teguh akan prinsipku, tak ingin GR-an.
Ya, seiring berjalannya waktu, banyak hal yang ia tanyakan padaku, hingga berlanjut pada obrolan seakrab sekarang. Sepertinya, aku mulai nyaman. Meski aku tak yakin dia benar-benar menyukaiku. Percakapan yang diawal hanya pertanyaan seputar ekskul paduan suara seperti.
[Besok kakak mau ikut ekskul, gak?] tanyanya, malam itu
[Ya] lagi-lagi jawabanku singkatDengan akun aslinya, aku memang selalu sesingkat itu. Hingga suatu waktu ada akun baru yang mengirikan pesan, foto profilnya bukan dia, melainkan sebatang handphone. Aneh menurutku, biasanya akun fake pun memakai foto kartun atau artis, ini lain.
[Hai] sapa akun tersebut, aku hanya membalasnya dengan jempol. Dia segera membaca, selepasnya lampu hijaunya mati.
[Hai] esoknya dia menyapa lagi
[Ini siapa?] balasku
[Masa gak kenal? Padahal kita sering ketemu] balasnya
[Gak] balasku
Aku mematikan data ponsel, merebahkan tubuhku dan beristirahat..
Esoknya, aku tak tahan lagi, penasaran. Biarlah membuang gengsi, walaupun sebenarnya tak ingin memulai percakapan terlebih dahulu. Lampu hijau pada akun itu menyala, dia sedang online.[Hey!] sapaku, [Kita satu sekolah?] lanjutku
[Iya] jawabnya
[Adik kelas ya, cowo pula, JJJ.] balasku
[Apa tuh JJJ? Jangan-jangan?] balasnya
[Justin, ya] balasku
[Bukan] jawabnya
[Terus siapa?] tanyaku
[Biar aja kakak nggak tahu, kalo tahu pasti jawabnya singkat lagi] balasnya
[Ah, gak salah lagi, ngaku aja kamu Justin?] desakku
[Hehe, iya deh aku ngaku. Sengaja pake akun ini, supaya bisa chat lebih panjang sama kakak] balasnya
[....] aku tak membalas, yang terpenting sudah tahu, pikirku.
[Tuh, kan. Kakak marah, ya?]
[Marah apa? Gak] jawabkuDari sana, awalnya kasihan dengan anak itu, hingga selanjutnya tanpa sadar aku yang mengirim pesan lebih panjang darinya. Mungkin, inilah saatnya bagiku melupakan perlakuan Stevan, mungkin benar, tak semua lelaki sama. Mungkin Justin benar-benar menyukaiku. obrolan yang tadinya terasa kaku, kini mulai dibumbui sedikit candaan. Namun, keadaan terbalik ketika bertemu langsung di sekolah, yang biasanya tak canggung untuk menertawakannya, sekarang hanya seringkali curi pandang atau menyembunyikan senyum dikulum dan semu merah ketika tak sengaja berpapasan.
****
Tak terasa, hari ini aku naik ke kelas 12, Justin kelas 11 dan hari ini kami punya adik kelas baru. Disinilha kurasa Justin mulai berubah, sekarang tak seperti malam biasanya, lampu hijaunya menyala, tapi tak ada pesan darinya.
Aku tak ingin ambil pusing, aku membuka berandaku, lalu tanpa sengaja menemukan hal yang membuat hatiku terasa remuk kembali. Akun asli Justin, memberikan komentar dan tanggapan love pada postingan foto anak baru. Mungkinkah?Aku mengklik akun bernama 'Marissa' memang aku yang pertama kali meminta pertemanan pada akun itu, entah karena apa. Ternyata, bukan hanya satu,pada postingan-postingan 'Marissa' yang lainnya pun selalu ada akun Justin yang memberi tanggapan love.
Mau marah? Jelas. Namun, aku tak berani. Hari-hari aku hanya mengawasi, menstalking kedua akun itu. Bingung! Hati memungkinkan ini hanyalah kesalahpahaman, namun logika sedikit membenarkan. Bisa saja Justin tertarik pada Marissa, dari usia Marissa lebih muda dibandingkanku, lebih serasi.
.
Aku menunggu, menunggu Justin mengirim pesan padaku. Hingga hari ini, belum juga ia mengirimkan pesan. Aku mencoba memancingnya lewat status."Serius, gak sih?" tulisku di wall pribadi
Masih tak kunjung dapat pesan juga.
"Pengecut!" tulisku lagi
Beberapa menit kemudian, dia mengirim pesan. Ting!
[Marah, ya?]
[Gak, siapa yang marah.] balaskuYa, bukannya tak ingin marah, tapi apalah hakku? Lagi-lagi aku merasa bodoh, menaruh hati pada orang yang belum pasti. Ya, sampai sejauh ini belum ada status di antara kami.
*** cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan tempat dan nama, mohon dimaklumkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Antologi Cerpen Y. F. Nuraini
Historia CortaBerbagai rasa dalam kehidupan ini, alangkah lebih indah dan berarti, bila diekspresikan melalui tulisan. Bukan hanya tentang mendapat kelegaan setelah menuangkannya, tapi juga tentang sebuah karya, yang dapat dibaca untuk menjadi pelajaran.