Kabar Itu Penting

45 8 3
                                    

Kring ... kring ... kring ...

Suara nada dering disertai nama "Bapak" di layar HP-ku malam ini. Seperti biasanya, hampir setiap jam 8 malam ia selalu meminta video call, jarak yang jauh karena Bapak tengah pergi merantau membuatnya selalu meluapkan rindu dengan berkomunikasi secara daring. Dengan sedikit malas, aku menekan tombol jawab. Bukan karena tak rindu, hanya saja diusiaku yang kini beranjak remaja, panggilan masuk dari Bapak membuatku yang tengah asyik berselancar di dunia maya atau tengah chatting mesra bersama teman laki-lakiku sedikit terganggu. Bahkan, tak jarang bila sedang seru-serunya, panggilan Bapak ku abaikan. Bila esok bertanya kenapa, tinggal ku beri alasan HP-ku sedang di-charger.

"Halo, Nak," sapa Bapak
"Halo, Pak," jawabku
"Lagi ngapain?" tanya Bapak
"Gak lagi ngapa-ngapain," jawabku seraya memberi senyuman pada Bapak, "Bapak Sehat?" tanyaku
"Alhamdulillah, sehat." jawab Bapak sambil menatapku lekat di layar HP.

Aku berjalan dari kamar menuju ruang keluarga, disana ada Ibu yang sedang menonton sinetron favoritnya.

"Pak, ini Ibu mau ngobrol, Aku mau belajar dulu." ucapku sembari menyodorkan HP pada Ibu.

Hampir setengah jam Bapak dan Ibu video call, Ibu memanggilku.
"Nak ... ini HP-nya," sahut Ibu
"Iya, Bu ...." jawabku
"Bukannya ngobrol sama Bapak, malah ke kamar, kebiasaan." kata Ibu
"Kan, belajar Bu, hehe," kataku, "Lagi pula aku takut ganggu Ibu yang lagi kangen-kangenan sama Bapak." ucapku sambil menyengir ke arah Ibu.
"Udah, belum belajarnya?" tanya Ibu
"Udah." jawabku singkat
"Duduk sini! Ngamar terus kamu." ucap Ibu sambil menepuk-nepuk kursi disebelahnya.

Aku duduk di sebelah Ibu. Ibu memgganti channel TV dari sinetron menjadi acara Talk Show, dikarenakan sinetron yang sedang ia tonton terjeda oleh iklan. Di TV terlihat seorang pemandu acara dan seorang bintang tamu, lelaki jangkung dengan rambut ikal itu mulai bercerita, bercerita tentang kehidupannya yang merupakan korban perceraian orang tua. Ia tinggal bersama sang Ibu, sedangkan sang Ayah telah memiliki keluarga baru.

"Semenjak kelas 6 Sekolah Dasar, Ibu dan Ayah saya berpisah. Saya ikut dengan Ibu, dan Ayah kabarnya telah menikah lagi waktu itu. Saya masih ingat, saat Ayah hendak pergi, saya sempat menarik-narik kaosnya untuk menahan ia pergi. Ibu saya menjadi single parent setelah Ayah pergi. Ibu kerja di sebuah pabrik, sedangkan saya ditinggal bersama Nenek dan Kakek. Sebuah kehidupan yang memilukan, punya orang tua, tapi tak selalu ada untuk kita. Di usia saya yang baru dua belas tahun waktu itu, saya sudah jarang merasakan masakan Ibu. Dan Ayah? Jangankan memberi kami nafkah, atau uang untuk biaya sekolah, untuk sekedar menengok dan memberi kabar saja sudah tak pernah." tutur pemuda itu.

Deg! Bagai ada yang ditinju di dalam sini, serasa ada yang sakit, mendengar kata kabar. Kehidupanku ini, memiliki Ibu dan Bapak, keluarga yang lengkap, impian semua anak. Memiliki sosok Ibu yang selalu ada untukku, juga Bapak yang dengan ikhlas bekerja keras untuk keluarga. Masih sempatnya meluangkan waktu setiap harinya untuk sekedar menanyakan kabar. Dia Bapakku, selalu ingat pada keluarga, selalu melepas segala kepenatan dengan cara yang luar biasa, melihat kami tersenyum hilanglah segala capeknya. Itu katanya.

Ayah ... maafkan anakmu ini, semoga lelahmu menjadi amal ibadah, menjadi berkah. Semoga engkau senantiasa diberi kesehatan, juga diberi keselamatan, sehingga kita dapat berkumpul bersama lagi ketika Bapak pulang ke rumah. Aku sadar, betapa cintamu pada Aku dan Ibu sungguh luar biasa.
















Antologi Cerpen Y. F. NurainiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang