#POV_Cowo
Hari ini adalah hari reuniku bersama teman-
teman alumni seangkatan waktu SMA. Tadinya aku tak ingin hadir, katena malu dengan keadaanku yang belum mapan dua tahun setelah kelulusan. Berbeda dengan mereka yang terlihat sudah sukses menurutku, terlihat dari postingan-postingan mereka di media sosial. Ada yang bekerja di perusahaan besar, meski kabarnya mengeluarkan biaya cukup tinggi di awal, ada yang menjadi penerus usaha keluarganya, ada yang sukses menjadi pebisnis muda, bahkan ada juga yang telah berbahagia dalam bahtera rumah tangga. Sedangkan aku, hanya sebatas karyawan toko kecil, yang penghasilannya tak seberapa, belum lagi dibagi antara kebutuhanku dan keluarga. Berbeda jauh dengan mereka yang sebagian sudah bisa membeli handphone dan motor baru dari usahanya, sedangkan aku yang hanya berpenghasilan satu juta rupiah perbulannya, bisa membelikan sepatu baru untuk adikku saja, tidak mudah. Untuk pasangan? Aku belum berani menyatakan cinta pada wanita, karena berniat ingin mapan terlebih dahulu. Ingat kata orang-orang, makan pakai nasi, bukan pakai cinta.Datang malu, tak datang rindu. Itulah gambaran dari kegalauanku, hingga akhirnya memutuskan untuk menghadiri reuni tersebut. Pasalnya, aku tak ingin dicap sombong karena tahun lalu, aku tak ikut reuni.
Di grup WA, acaranya pukul lima sore hari, di kafe dekat sebuah taman kota. Aku bersiap, memakai baju terbaru supaya tak terlihat menyedihkan di hadapan mereka. Berangkat menggunakan motor yang sudah lama kupakai dari jaman sekolah dulu.
Sesampainya di lokasi, teman-teman langsung menoleh ka arahku, beberapa melambaikan tangannya.
"Andri!" sapa mereka
"Wey, nggak berubah ya lu, masih kurus tinggi kayak dulu," kata Rizki, teman setongkrongan dulu.
"Haha, bisa aja lu, Ki," jawabkuAku duduk dan tertawa bersama teman-temanku itu, awalnya memang asyik, tapi makin lama obrolannya ....
"Keren tuh, mobil baru ya, Dit?" tanya Ridho pada Ditya
"Iya, masih kredit sih, tapi cakep 'kan?" ucap Ditya
"Yoi, cakep bener tuh mobil," jawab Ridho
"Siapa dulu," kata DityaKusapu pandangan ke seluruh sudut di kafe ini, tampak seorang wanita tengah menggendong bayi mungil, terlihat makin cantik setelah punya anak. Dia Sintia, mantan kekasihku waktu SMA.
Huh ... rasanya ingin cepat-cepat selesai dan pergi dari acara ini, soal teman-teman yang sudah sukses, soal Sintia, semuanya membuatku tak tahan berada disini.
"Mau kemana lu, Ndri?" tanya Rizki melihat aku beranjak dari kursi.
"Kesana," jawabku
"Jah, gua tau, pasti mau nyamperin mantan, dah nikah dia, coy," timpal Ditya
"Tanya kabar doang," jawabkuKini, aku berada tepat di depan Sintia, menatap sekilas, aku tahu yang disampingnya itu adalah suaminya.
"Andri?" tanya Sintia
"Tia, Mas," Sapaku pada kedua pasangan serasi itu.
"Apa kabar? Mas, ini Andri, yang pernah aku ceritain ke Mas waktu itu," ucapnya
"Salam kenal, Mas. Saya suaminya Sinta, Sinta pernah cerita tentang Mas," ucapnya dengan senyuman tipis.
"Iya, selamat ya Mas, Tia, maaf gak bisa dateng ke acara pernikahan waktu itu," ucapku
"Iya gak apa, Ndri." jawab Sintia
"Ya, aku balik kesana lagi, ya. Selamat sekali lagi atas pernikahan kalian," ucapkuAh, aku jadi teringat saat dimana aku hancur waktu itu, aku harus rela melepas Sintia menikah bukan denganku, karena orangtuanya menganggapku tak serius pada putrinya itu.
"Andri, kamu kapan mau main ke rumah? Orangtuaku menyuruhmu datang bila kamu serius, aku bingung, ada teman ayahku yang menjodohkanku dengan putranya, kamu ke rumah bilang sama Bapakku, Andri," kata Sintia di telepon saat itu, saat setelah dua bulan hari kelulusan, pantas saja jika banyak yang menginginkannya, dia cantik, juga cerdas. Itulah aku sangat mencintainya.
"Aku ... belum bisa, Tia. Sampai saat ini belum dapat kerja, mau bagaimana jika kita menikah nanti?" jawabku kala ituTelepon terputus, berkali-kali Sintia kuhubungi, tapi tak pernah dibalasnya. Hingga satu minggu kemudian, dia meneleponku, bukan karena rindu, tapi karena kabar pernikahannya.
*** cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan tempat dan nama, mohon dimaklumkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Antologi Cerpen Y. F. Nuraini
Short StoryBerbagai rasa dalam kehidupan ini, alangkah lebih indah dan berarti, bila diekspresikan melalui tulisan. Bukan hanya tentang mendapat kelegaan setelah menuangkannya, tapi juga tentang sebuah karya, yang dapat dibaca untuk menjadi pelajaran.