Tak Tahu Kapan Ia Tiba

21 3 2
                                    

Adzan subuh berkumandang, gemuruh hujan yang sejak sore kemarin masih saja terdengar pagi ini, membuatku enggan beringsut dari ranjang karena hawa dingin. Kulihat jam di dinding, masih menunjukkan pukul setengah lima, kupejamkan lagi mata ini, dalam hati berniat pergi ke tandas setengah jam kemudian.

Baru saja lima belas menit, suara dari toa masjid terdengar kembali, kupikir pengajian seperti biasanya. Namun, setelah salam yang terdengar bukan lantunan ayat Al-qur'an, melainkan sebuah pengumuman akan kabar kematian seseorang di kampung ini.

Sontak, aku beringsut, membuka selimut hangat yang menutupi tubuhku, mendengar dengan fokus, pergi keluar rumah, ada ibu yang juga tengah fokus mendengarkan.

"Siapa, Bu?" tanyaku
"Suuuut ... dengerin!" kata Ibu

Deg! Rasanya tak menyangka, yang meninggal dunia adalah adik kelasku. Aku segera pergi ke tandas, mengambil air dan berwudhu dari keran yang mengalir, berdiri mengenakan mukena, menghadap Sang Pencipta.

Usai shalat, kukenakan baju panjang lengkap dengan hijab, berniat melayat ke rumah duka, di luar masih hujan. Aku dan Ibu membawa payung dan pergi ke sana.

Setibanya disana, sudah banyak kumpulan orang-orang melayat, menandakan begitu banyak orang yang menyayanginya, apalagi semasa hidup, Almarhumah dikenal seorang gadis yang baik, tak pernah terdengar kabar aneh mengenainya. Tak sedikit yang menitikkan air mata, melihat kedua orang tua sang jasad yang terbujur kaku itu, menangis bahkan pingsan. Seakan, kami yang disana juga ikut merasakan, perihnya kehilangan.

****
Sepulangnya, aku termenung, masih melekat peristiwa tadi, dimana banyak orang yang menyanyangi kepergian Almarhumah, dia baik, semasa hidup dan semasa di bangku sekolah, banyak menorehkan prestasi yang membuat sekolah dan orang tua bangga. Ya, gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan amal dan karya.

Aku, yang subuhnya saja masih terkalahkan oleh dinginnya hawa hujan, yang masih menganggap suatu kebebasan adalah cara menikmati masa muda, masih seringkali menoreh kesan negatif pada orang-orang. Bagaimana akhirnya nanti?

"Melamun kamu," ucap Ibu
"Hm ... nggak nyangka aja, Bu. Begitu cepat dia pergi, umurnya masih 16 tahun," jawabku
"Ya, namanya umur. Tua, dewasa, muda, kanak-kanak, bahkan janin dalam kandungan pun, tak ada yang tahu kapan ajalnya tiba." kata Ibu

Ya, setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati, kita hidup di dunia ini hanyalah sementara, tak akan selamanya. Kita tak ada yang tahu apakah semenit kemudian, giliran kita yang dipanggil nama menghadapnya? Masihkah ingin membangkang pada aturan-aturan kehidupan? Masihkah niat untuk bertaubat kita lalaikan? Bagaimana jika nanti terlambat bagi kita untuk bertaubat? Masihkah waktu ini kita sia-siakan?

Ya, saatnya kita berbenah diri, memanfaatkan setiap waktu dan kesempatan untuk berbuat kebaikan. Memang, kebaikan kita pun belum tentu diterima sebagai amalan baik, bisa jadi ia terhapuskan oleh kesombongan dan kefasikan, tapi apakah itu alasan untuk kita berbuat berbagai dosa?

Sebagai manusia, memang kita tak sempurna, kesempurnaan hanya milik Sang Pencipta. Kita hanyalah seorang hamba, yang diciptakan tiada lain untuk beribadah kepada-Nya.

Kita mesti ingat, setiap hembusan nafas kita ini, setiap langkah kaki kita ini, setiap yang kita dengar dengan telinga ini, setiap yang kita lihat dengan mata ini, setiap yang kita ucapkan dengan lisan ini,  akan ditanyai dan diminta pettanggungjawabannya.

Antologi Cerpen Y. F. NurainiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang