Berhenti

8 1 0
                                    

Setelah dua bulan berhenti bekerja dari sebuah toko makanan dan minuman cepat saji, aku menganggur lagi. Bukan karena malas mencari pekerjaan lagi, tapi belum ada panggilan juga. Alasanku berhenti dari tempatku bekerja sebelumnya bukan karena diberhentikan paksa karena mencuri atau lainnya, tetapi karena sebuah tragedi yang membuatku memutuskan tuk berhenti.

Sebenarnya, pemilik toko ini sangat baik, bukan hanya memberi gaji sepadan dan makan siang, tapi juga sering mengingatlkan perihal ibadah kepada Tuhan.

Namun, aku seakan tak pernah betah disini, hanya karena pekerjaan yang kujalani jauh dari mimpi semasa sekolah dulu. Waktu masih sekolah dulu, aku bermimpi melanjutkan kuliah dan bekerja sebagai akuntan nantinya. Namun, dengan keterbatasan biaya, dan tak mendapat beasiswa karena nilaiku tak setinggi teman lainnya, aku harus bekerja sebagai penjual makanan seperti roti, sosis, pop ice, yang upahnya tiga puluh lima ribu perhari. Terlihat kecil, tapi lumayan besar jika dikalikan kerja sebulan.

Hari-hari yang kujalani selalu kukeluhkan, terutama saat pulang. Capek! Itu saja yang keluar dari lisan, sesekali bertanya kenapa semuanya tak sesuai impian?

"Ini nanti kalau sudah beres, dibersihkan ya," perintah Bu Bos.
"Iya, Bu," jawabku

Bekerja tanpa keikhlasan hati, membuat segala sesuatu yang ke kerjakan terasa berat. Tak ada semangat. Seringkali pekerjaan kukerjakan dengan emosi, apalagi waktu dikritik salah. Padahal, itu semua untuk perbaikan dan demi keselamatan.

"Buka kaleng susu jangan kayak gitu, nanti pisaunya kena tangan,"
"Kalau mau potong buah, pakai sarung tangannya,"
"Kalau lap kaca, lapnya dicuci dulu, biar bersih keliatannya,"

Duh ... semuanya aku ambil pusing, mumet, jengkel. Aku bertahan hingga bulan pertama, untuk pertama kalinya memegang uang satu jutaan, rasanya segala lelahku terbayar sudah dengan kebahagiaan.

"Ini gaji kamu selama sebulan, mudah-mudahan bermanfaat ya, semoga kamu masih betah kerja disini," ucap Bu Bos
"Makasih, Bu." jawabku dihiasi senyum merekah dan mata berbinar bahagia.

Pulang ke rumah, menyisihkan beberapa lembar seratusribuan untuk Ibu, Ayah, serta beberapa ponakanku. Sisanya, untuk memenuhi kebutuhan sendiri, membeli apa yang ingin kubeli saat masih duduk di bangku sekolah dulu.

"Ini gaji pertamaku, Bu. Tak seberapa memang yang kuberi untuk Ibu," ucapku pada Ibu
"Tak apa, Nak. Ibu senang kamu sudah bisa mandiri," jawab Ibu

***
Pagi ini, ada yang terasa berbeda saat hendak pergi bekerja, selain sudah terbiasa dengan semuanya, juga sudah merasakan manisnya gajian di akhir bulan. Terasa ada semangat yang membara dalam dada.

Aku membersihkan lantai terlebih dahulu, menata barang satu-persatu supaya terlihat indah dan bersih saat ada pembeli. Setelahnya, menghangatkan kukusan panci sambil melap etalase. Saat hampir selesai melap etalase, tak seperti biasanya kukusan yang kuhangatkan belum terdengar bunyi. Kulihat kompor, ternyata aku sudah memutarnya, tapi kurang penekanan, sehingga apinya tak menyala. Ku coba nyalakan kembali kompor itu, tak kusangka apa yang terjadi setelahnya.
"Wush!" Api menyala sangat besar, terkena pada mukaku yang memang letaknya tak jauh saat menyalakan kompor tadi. Aku menjerit "Aaaaaaa ...." sontak Bu Boss dan karyawan lainnya berlari ke arahku. Aku menangis, mukaku terasa panas dan kaku, lalu bergegas dibawa ke puskesmas terdekat.

Sepulangnya dari puskesmas, aku berkaca, memang ada beberapa bagian yang terlihat hitam, tapi aku masih bersyukur diberi keselamatan, juga toko milik Bu Bos tak kebakaran. Kabarnya, alasan kompor mengeluarkan api besar karena aku sudah memutar knopnya tetlalu lama, sehingga gas di dalamnya mengumpul, lalu keluar sekaligus saat kunyalakan kembali.

Esoknya, aku dimintai kerja kembali, tapi melihat beberapa bagian mukaku ada yang hitam, ibu melarang dan menyarankanku untuk menyembuhkannya dulu.

2 minggu, luka bakarku sembuh, tak berbekas karena obat salep yang diberikan BuBis saat itu, juga atas kuasa yang Maha pemberi keselamatan tentunya. Bosku begitu baik, hampir setiap hari menanyakan kabar lewat ponsel, memintaku kerja kembali, tapi aku memutuskan berhenti karena trauma.

Sebuah pelajaran untukku kedepannya, supaya bekerja dengan sepenuh hati dan juga teliti saat mengerjakan apapun.

Antologi Cerpen Y. F. NurainiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang