Tetap disini, Mama!

6 1 0
                                    

Saat itu aku masih kelas 1 SD. Sebagai anak pertama Papa dan Mama, katanya kehadiranku dulu sangat ditunggu-tunggu, hingga kini kasih sayang Ayah dan Ibu selalu tercurah melimpah untukku. Aku bersyukur memiliki orang tua seperti mereka.

Berkat kasih sayang mereka aku tumbuh menjadi anak berprestasi, berkat keduanya. Dukungan dan do'a dari Mama, juga ketegasan dan kerja keras dari Papa. Tapi sayang, Papa dan Mama seperti tak pernah akur, selalu bertengkar setiap hari, bahkan untuk hal-hal kecil, seperti sekarang ini.

Saat aku mendapat juara pertama di kelas 1. Papa dan Mama terharu serta bangga. Tapi, Ayah berkata bahwa itu berkat didikannya, juga fasilitas yang ia beri untuk mendukung prestasiku. Begitu juga Ibu, ia merasa bahwa apa yang aku raih sebagian besar itu karena  selalu adanya dia untukku. Mereka saling mengunggulkan diri di depanku.

"Ini karena Papa selalu bekerja keras untuk memenuhi segala kebutuhan di rumah ini, termasuk untuk biaya pendidikan kamu," ucap Papa saat itu.
"Lo, Pa. Kalau bukan karena Mama yang sabar menemani dan menyemangati Agus untuk belajar, dia gak akan sepintar ini," ucap Mama

Aku yang hanya diam mengamati, mereka yang saling bicara dengan nada tinggi, aku takut, seperti biasa suara mereka mulai berhenti saat aku masuk kamarku sambil membanting pintu, lalu menangus karena sedih melihat Mama Papa bertengkar, juga takut. Setelah aku masuk kamar, seperti biasa Mama ikut menangis sambil mengetuk pintu, mereka akan berlari memeleukku saat kubukakan pintu. Kenapa? Kenapa hal mengerikkan ini harus sering terjadi?

***
Hari-hari berlalu, semester kedua ini nilaiku anjlok, dari ranking 1 menjadi rangking 7, bukan karena aku jadi malas belajar, atau terlalu banyak bermain, tetapi karena aku tak ingin terulang kejadian semester kemarin, terjadinya oertengkaran Mama dan Papa gara-gara prestasiku. Kupikir, itu semua takkan membuat Mama dan Papa bertengkar lagi, tapi nyatanya malah lebih buruk, saat mengambil raporku Mama terlihat cemberut, sesekali memarahiku, sampai di rumah pun begitu. Untungnya, hari masih siang, Papa belum pulang, aku pergi ke kamar untuk tidur karena tak ingin mendengar Mama marah.

Pukul 5 sore, Papa pulang, Mama yang sedang menyetrika baju terlihat fokus. Lalu, Papa bertanya perihal nilai raporku.

"Agus!" panggil Papa, aku tahu dia akan marah padaku.
"Kenapa nilai kamu jadi turun begini?" tanya Papa, "Pasti karena Mama tak menyuruhmu belajar, kan?" lanjut Papa
"Enak saja, asal Papa tahu, Mama selalu menemani Agus belajar, setiap tugas rumah juga selalu Mama cek setiap harinya, Agus juga pintar saat belajar di rumah, harusnya Papa yang sadar, Papa gak pernah ada waktu buat Agus!" ucap Mama emosi.
"Maksud Mama apa? Papa itu kerja, capek! Yang tugas ngurusin anak kan kamu Ma," kata Papa.

Pertengkaran mereka berlangsung agak lama, hingga tercium bau gosong, karena tadi Mama sedang menyetrika. Baju seragam kerja Papa bolong, membuat Papa semakin marah.

"Dasar istri tak becus! Sudah gagal mendidik anak, sekarang bajuku dibuat bolong begini," ucap Papa
"Apa? Aku istri tak becus? Sudah, lebih baik aku pergi!"ucap Mama, " Agus, ayo kemasi barang-barang kita!" lanjut Mama.
"Cukup Ma! Pa! Aku gak rangking 1 bukan karena Mama gak ajak aku belajar, tapi karena aku takut kalian bertengkar seperti semester kemarin, aku gak mau liat Mama Papa ribut terus," ucapku.
"Jangan bela Mama kamu, Agus! Memang dia yang salah!" kata Papa.

Mama membawa barangku dan barangnya, hendak mengajakku pergi meninggalkan Papa.
"Lebih baik kita tinggalkan Papamu ini," kata Ibu sambil meraih lenganku.
"Jangan, Ma. Agus gak mau pergi dari Papa, agus bakal kangen. Pa ... tolong Agus Pa, minta maaf ke Mama supaya Mama gak pergi," ucapku memohon, tapi Papa tak menahan kepergianku dan Mama.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 30, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Antologi Cerpen Y. F. NurainiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang