TLBT - 00 | Awal dari Segalanya

258 31 2
                                    

Garis berwarna jingga mulai melukis nuansa damai di Kota Tokyo, Jepang itu. Bertahta dengan elegannya sampai membuat para pasangan ikut menikmati pemandangan dari berbagai sudut kota. Tak hanya bagi setiap manusia yang memiliki pasangan saja yang menikmati lukisan alam dari Tuhan. Nyatanya setiap orang dari usia tua sampai muda ikut berdecak kagum akan keelokannya.

Berbeda dengan gadis yang memiliki surai coklat yang masih asyik bergelung di kamarnya itu. Gadis yang memiliki darah Indonesia – Jepang itu masih setia berduaan dengan layar laptop yang menampilkan sebuah film animasi dari Jepang.

Sudah 10 jam lebih mata hazelnya menatap layar persegi panjang itu. Namun, agaknya rasa jenuh tak pernah hinggap pada dirinya. Lihat saja, setelah film itu habis, jemarinya yang lentik siap menari di atas keyboard demi menuliskan beberapa cerita yang berada di draft penyimpanannya.

“Chiara!” Suara seruan dari sang Ibu membuat matanya terpaksa menoleh ke sumber suara. Menampilkan wanita berusia senja yang masih terlihat awet muda yang berdiri tepat di pintu kamarnya.

Wanita yang memiliki darah Jepang itu hanya berdecak kala melihat putrinya masih bergelung dalam selimut. Ditambah camilan yang berceceran di kasur sang putri, membuat kepalanya semakin terasa pening.

“Anak gadis itu keluar! Bukannya ngurung di kamar terus! Mau jadi apa kamu kalau kayak gini terus?” oceh Ibunya.

“Chia nggak mau keluar. Orang-orang itu menyebalkan, Bu. Jadi, Chia main sama Lady Chiara aja di sini.” Chiara terkekeh sambil menepuk pelan laptopnya. Ya, laptop yang diberi nama Lady Chiara. Benar-benar gila bukan?

Sang Ibu hanya geleng-geleng kepala. Sejak putrinya pindah ke Tokyo tiga tahun yang lalu, sikapnya semakin membuat dirinya harus ekstra sabar. Putrinya yang memang sejak dulu tak pandai bergaul, kini menjelma menjadi seorang ‘neet’ atau bisa disebut sebagai pengangguran yang diam di rumah.

Belum lagi putrinya yang doyan nonton film animasi Jepang dan film lainnya. Benar-benar hanya bisa ‘ngebangkai’ di rumah.

“Kamu itu anak gadis, umur udah delapan belas tahun. Cari pacar atau gebetan gitu, kek. Cuma kamu doang lho anak gadis yang benar-benar malu-maluin ibu.” Ibunya berdecak sambil memijit pelipisnya. Apa yang akan dikatakan Ayahnya Chiara kalau pulang nanti? Semoga saja putrinya itu tak akan di sekolahkan paksa oleh suaminya jika sudah pulang.

Bola mata Chiara memutar malas. “Ibu, ‘kan, tahu Chia itu anti-anti club sama yang gituan. Chia nggak suka temenan sama orang yang fake. Chia lebih suka di kamar kayak gini. Ngebangkai sekalian juga nggak masalah.”

Kini, mata sang Ibu membelalak terkejut dengan jawaban sang putri. Aish, dosa apa ia sampai memiliki seorang putri pemalas dan cuma bisa jadi beban keluarga begini? Suaminya yang harus mencari nafkah di kota lain demi menafkahi dan menyekolahkan sang anak, malah ini imbalan yang didapatkannya.

“Syukurin aja, Bu. Untung punya anak kayak Chia,” ujar Chiara lalu mengambil snack keripik yang ada di sebelahnya.

Kening Ibunya mengernyit bingung. “Syukurin gimana? Jadi bangkai, apa yang harus ibu syukurin?”

Chiara memasukkan keripiknya ke dalam mulut. Dengan senyum termanis, ia tunjukkan ke Ibunya. “Ibu nggak usah keluarin uang banyak buat Chia shopping. Ibu juga nggak usah takut soal pergaulan, soalnya doi Chia cuma dua dimensi atau tiga dimensi dalam bentuk halu. Pokoknya Chia sampai sekarang masih jadi gadis yang suci dan tidak terjamah oleh siapa pun.”

The Lover Behind Time [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang