Bab 14 : Kilas masa lalu

23 4 1
                                    

Enggan untuk mengingat masa lalu tapi bagaimana lagi masa lalu itu bagaikan bayang bayang yang selalu mengikutiku.

~Mantan Shit!!

Plaak

"Jangan asal nuduh ya! Yang salah itu kamu kenapa malah menyalahkan orang!"

"Harusnya aku enggak terlalu manjain kamu. Akhirnya kamu semakin menjadi!"

"Stop! Kamu yang murahan! Bukan dia!"

Hiks...hiks...

Ara menangis sesegukan sambil mencengkeram roknya melampiaskan rasa. Suara bayang bayang masa lalu menggema di otaknya tanpa komando. Membuat luka yang baru sembuh perlahan terbuka kembali.

Sedangkan Wida disamping Ara hanya mengusap bahu Ara tanpa berkata apapun. Wida tau yang Ara butuhkan saat ini hanyalah meluapkan perasaan sedihnya bukannya nasihat ataupun saran, akhirnya Wida hanya bungkam.

"Hiks bukan a--aku yang salah Wid ta--tapi hiks...hiks Vanilla. Hiks...a-aku tidak salah Wid, tapi kenapa aku yang di tampar? Hiks...hiks sakit Wid disini sakit hiks...hiks," curhat Ara tiba-tiba sambil sesegukan. Tangan Ara memukul mukul dada bagian kiri seolah ingin meredakan sakitnya yang tak ingin dirasa.

Wida mengelus bahu Ara dan menyandarkan kepala Ara di pundaknya. Biarlah Ara menangis sepuasnya karena ada bahu untuk Ara bersandar. Andai Ara bersedih dan terpuruk maka Wida siap meminjamkan bahunya dan sebuah pelukan untuk sahabatnya Ara. Sungguh persahabatan sejati.

"Sudah Ra, enggak usah cerita aku ngerti kok. Sudah jangan dipikirin lagi. Puas puasin nangisnya"

"Tapi Gilang Wid---"

"Iya sudah enggak usah di bahas lagi"

Wida geram dengan Gilang, seenaknya saja main tampar. Lagipula memang benar yang salah itu adalah Panilla Panilli itu bukan Ara. Banyak saksi mata padahal. Tapi, kenapa para siswa di sana bungkam tanpa menyanggah seolah membenarkan fitnah si Panilli itu.

Apa iya Panilli itu menyuap para siswa di sana? Buru buru Wida menggelengkan pikiran ngawurnya. Kebanyakan nonton penangkapan korupsi di tipi tipi ya gini. Ah persetan lah dengan Panilli yang jelas saat ini harus menenangkan Ara yang nangisnya tambah kejer bak orang habis di putusin saja.

Dan sekarang---Wida hanya bisa terima elus dada. Maklum ini Ara kapan tingkahnya bener tuh?

Sedangkan di sisi lain di sebuah rooftop sekolah. Tempat tertinggi yang jarang di kunjungi itu, ternyata di jadikan sebuah markas oleh Gilang and the geng. Di dalam markas tengah beberapa teman Gilang bermain kartu uno sambil memakan camilan yang terdiri di kulkas markas. Berbeda sekali dengan Gilang yang duduk di sofa pojokan sambil menyebat rokok. Raut wajahnya terlihat kecut.

Apakah kalian tidak percaya Gilang yang notabene good boy itu merokok? Sama. Walaupun Gilang good boy tapi tetap saja sedikit fucek boy itu mulai memakai rokok sejak satu tahun yang lalu. Gilang itu manusia biasa yang punya masalah dan kerap kali gelisah dan rokok itu adalah pelampiasannya. Masih untung Gilang tidak melampiaskan pada minuman keras dan di ganti dengan kopi dan rokok perpaduan yang pas.

Baru saja Gilang akan menyebat lagi tapi ada sebuah tangan yang menarik rokoknya dan kemudian di injak injak oleh kaki berbalut sepatu.

"Lo kalo ngerokok juga gak ada gunanya Lang."

Gilang berdecak, mengambil segelas kopinya. "Tsk! Bukan urusan lo Rey."

Pria yang di panggil Rey itu bukannya tersinggung tapi malah duduk di sofa yang sama dengan Gilang.

"Memang bukan urusanku. Tapi, lo itu pengecut tau gak Lang?" Ejek Rey tepat sasaran menghujam ke jantung Gilang.

Sejenak pikirnya melalang kejadian tadi. Yang mana dirinya merasa sangat brengsek sekaligus pengecut ataukah sekaligus tidak menunjukkan pria sejati. Yang dengan mudahnya menampar seorang perempuan hanya karena kata yang tak ingin di dengar. Kata yang mengingatkan pada luka satu tahun silam.

"Lo gak merasa bersalah gitu?" Tanya Rey melihat Gilang terdiam.

"Tidak,"

"Banci lo ah, gak minta maaf gitu? Walaupun tidak merasa bersalah"

Oke Gilang cukup akui bahwa dirinya memanglah banci ucapan Rey memang tidak ada salahnya. Tapi Gilang enggan mengakui.

Terdiam sejenak kemudian Gilang berujar, "Tidak."

Satu kata tapi cukup menyulut sedikit emosi Rey. Ingat ya hanya sedikit. Akhirnya daripada dirinya bertambah emosi dan berakhir adu tonjok Rey memilih bergabung dengan teman temannya yang sedang bermain di karpet.

Rey paham dan mengakui jika dirinya dan Gilang berteman tidak hanya setahun atau dua tahun tapi sudah sejak kecil, berbeda dengan Ario yang berteman dengan Gilang saat menginjak bangku sekolah menengah pertama. Karena itulah Rey sedikit mengerti tentang diri Gilang. Rey mengerti jika Gilang adalah pria yang memiliki gengsi yang tinggi setinggi Burj Khalifa. Menjengkelkan memang. Dan entah bagaimana dirinya sendiri bisa betah berteman dengan Gilang. Tak ada yang tau.

"Lo tidak tahu ya kalo sebenarnya yang salah bukan Ara?"

"Aku tahu," jawab Gilang singkat sambil menyeruput kopinya.

"Terus kenapa lo malah tampar Ara?" Tanya Ario terheran heran.

"Hm tidak tau," pungkas Gilang seolah tak ingin menjelaskan sesuatu.

Ario tak bisa menceramahi sekarang karena sama seperti Rey, ia tau betul bagaimana tabiat Gilang. Yang Ario lakukan hanyalah menggeleng geleng kepalanya.

"Apapun alasan lo tetap minta maaf Lang. Jangan jadi pengecut."

Baiklah mungkin nasihat Ario hanya sekedar masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Tidak nyangkut di otak.

Sudahlah terserah anak ini sajalah. Keras kepala, batin mereka berdua

X X X

Pendek amat bund? 😭
Iya pendek sengaja sih soalnya ini enggak ada seribu kata 😭

Eh iya yang mau ngumpatin Gilang mangga 😌

Alurnya lambat ya? Sabar ntar konfliknya datang kok. Ini lagi mikir gimana alur selanjutnya. Karena sejujurnya aku nulis cerita ini tanpa outline 😶

Salam sayang 🐨












MANTAN SHIT!!  [ On Going ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang