Jarum pendek pada jam dinding masih menunjuk di antara angka enam dan tujuh ketika samar-samar kudengar deru suara blender dari arah dapur. Selama tinggal di Jepang, suara itu hampir-hampir selalu menjadi alarmku di pagi hari. Aku bahkan tidak lagi menggunakan jam weker yang kubawa dari Indonesia sejak minggu pertama. Host dari sharehouse yang kutinggali ini memang tak pernah absen menjalani rutinitas paginya.
Namanya Takeda Ayumi, ibu tunggal anak satu yang masih terlihat seperti ibu muda tiga puluhan di pertengahan usianya menuju kepala lima. Anaknya bahkan sudah seusiaku, tapi kulitnya yang kencang masih bisa-bisanya membuatku iri. Dari yang kudengar darinya dulu, ia menyewakan kamar di rumahnya agar memiliki teman bicara dan beraktivitas di rumah. Sejak anak laki-laki satu-satunya melanjutkan pendidikan di luar negeri, ia membuka rumahnya dengan sewa murah agar ia punya teman jika anaknya tidak pulang dalam waktu yang lama.
Aku beranjak menuju kamar mandi untuk mencuci muka ketika Ayumi-san selesai dengan jus buatannya. Dua gelas. Ia terkadang membuatkan untukku juga, kadang menyuruhku membuat sendiri jika kiranya aku tidak menyukai buah atau sayur yang dia pilih.
Dulu aku sempat khawatir ketika pertama kali menginjakkan kaki di Negeri Matahari Terbit, tempat yang sepenuhnya asing, terlepas dari berapa banyak artikel yang kupelajari sekadar untuk mengenal budaya dan orang-orangnya. Pada awalnya aku begitu takut akan sangat bergantung pada Hiroshi sebagai satu-satunya orang yang kukenal di negara ini. Tapi, begitu mendapati diriku dikelilingi oleh orang-orang baik, sekarang aku justru takut stok keberuntunganku akan habis saat aku membutuhkannya. Aku mendengus. Sepertinya aku terlalu serakah untuk mengharapkan begitu banyak keberuntungan untukku sendiri.
Melihatku yang baru keluar dari kamar mandi dengan wajah segar, ia tersenyum cerah. Di sampingnya, sudah ada satu lagi matras yoga yang tergelar. Punya anak laki-lakinya yang ia pinjamkan padaku selama dua bulan terakhir. Aku jadi membayangkan bagaimana anak laki-lakinya yang tinggi tegap itu mengikuti gerakan yoga ibunya. Aku melihatnya di foto kelulusan yang dipajang di samping lemari dupa Takeda-san, suami Ayumi-san yang sudah meninggal belasan tahun lalu.
Ia tidak pernah memaksaku untuk mengikuti rutinitas hariannya, tapi akan merasa bersemangat jika aku ikut serta. Aku sendiri berpikir tidak ada salahnya mencoba rutinitas baru. Toh minum jus dan yoga di pagi hari tidak akan membuatku mati. Sebaliknya, kematianku mungkin bisa diundur beberapa hari. Mungkin.
Menempatkan diri pada matras di sebelah Ayumi-san, aku mulai mengikuti gerakannya. Kurentangkan kedua tanganku lurus-lurus, memutar badan ke samping dengan perlahan menikmati irama musik yang lamat-lamat memenuhi penjuru ruang.
Kupejamkan mata menikmati nada yang perlahan merambati kepalaku, membawa kedamaian dan energi baik, kurasa, menarik napas dalam-dalam kemudian membuka mata, mengikuti gerakan selanjutnya.
Kutekuk satu kaki ke depan, merentangkan kaki kanan sedikit ke belakang. Kurentangkan kedua tangan di atas kepala, merendahkan salah satunya di belakang kepala menyentuh ujung-ujung jari kaki, perlahan merasakan ketenangan yang begitu memabukkan hingga suara 'krek' yang cukup keras dari punggungku membuat konsentrasiku buyar. Cukup keras untuk membuat Ayumi-san ikut kehilangan fokusnya dan menoleh ke arahku.
***
"Yakin tidak apa-apa, Rin-chan?" Tanya Ayumi-san sembari menimbang paprika merah dan hijau di masing-masing tangannya. Ia bertanya bahkan tanpa menoleh ke belakang.
Aku tersenyum malu-malu, kembali meyakinkan Ayumi-san dengan jawabanku. Dari yang aku dengar, sebenarnya wajar saja bagi orang yang jarang olahraga sepertiku untuk mengalami krek tulang ketika terjadi peregangan. Hanya saja, untuk mengeluarkan suara sekeras itu hingga membuat Ayumi-san khawatir, tetap saja rasanya memalukan.
Yang mengajakku bicara masih saja berkutik pada bahan Cah Paprika Jamur olahannya, mengikuti resep yang biasa kubuat di Indonesia. Ia memang tidak terlalu mempermasalahkan sesi yoga paginya yang terpaksa berhenti gara-gara tulang punggungku yang kaku.
"Nee, Rin-chan, apakah tidak terlalu manis kalau pakai paprika merah saja?"
Perempuan yang kukenal selama dua bulan tinggal di Jepang ini memang bisa mengubah topik pembicaraan dengan cepat. Bukan karena tidak perhatian, karena sejauh yang kuketahui, ia bahkan tidak bisa mengabaikan kucing liar yang ia temui di jalanan. Mungkin karena harus menjalani hampir separuh hidupnya sebagai ibu tunggal. Jalan yang keras menempanya untuk mampu melakukan banyak hal sekaligus, lebih dari orang lain. Meskipun begitu, apapun pelajaran hidup yang dihadapinya di masa lalu, aku yakin ia bisa melewatinya dengan baik. Jika tidak, mungkin tidak akan ada sosok Ayumi-san yang dipenuhi energi positif seperti sekarang.
"Waktu kecil lidahku sensitif jadi Mama terbiasa tidak menambahkan paprika hijau dalam masakannya. Tapi kalau mau ditambahkan tidak apa-apa, sepertinya enak." Jawabku dari balik counter, masih dengan kedua tangan yang sibuk menyuwir jamur tiram kiriman Mama dari Indonesia. Walau sempat menentang perjalananku ke luar negeri, ia masih sempat-sempatnya mengirim banyak bahan makanan. Termasuk sambal botolan yang ia jual di restoran.
Ayumi-san selesai menyiapkan bahan-bahan dalam waktu singkat, mengikuti instruksi dalam lembaran resep yang ikut dikirimkan melalui paket ibuku. Pengecualian untuk masalah paprika hijau tadi.
Bersamaan dengan Ayumi-san yang mulai memasukkan bumbu ke dalam minyak panas, ponselku bergetar. Tulisan 'Mama Toko' terpampang di atas layar. Disusul dengan suara 'Halo' dari Papa.
"Pa?"
"Mama bertanya, apa paketnya sudah sampai?"
Kalau penasaran kenapa tidak bertanya sendiri, batinku. "Mama mana?"
"Oh, itu, baru saja keluar, beli gas." Mana ada. Pasokan gas selalu diantar ke toko oleh kurir.
"Rin-chan, boleh tolong ambilkan garam baru di rak atas?" ia menoleh sebentar, mengangkat satu tangannya yang masih memegang spatula kayu, membuat gestur meminta maaf karena menggangguku yang sedang bertelepon. Aku tersenyum, memberinya isyarat 'tidak apa-apa' sembari berjalan menuju rak tempat penyimpanan bumbu.
"Paketnya sampai pagi tadi."
"Begitu? Baiklah." Hening sebentar, dari seberang sayup-sayup terdengar suara pelanggan yang ingin membayar makanannya. Nampaknya Papa berjaga di kasir hari ini.
Tanganku beranjak membuka rak penyimpanan bumbu, nomor dua dari kiri.
"Sudah lihat paket sambalnya? Ada resep baru loh." Sambal? Aku belum membukanya.
"Belum. Sambal apa?"
"Cumi dan cakalang. Kamu pasti suka. Sudah ya, Papa mau cek dapur dulu." Belum sempat menjawab, sambungan sudah terputus. Berbeda dengan Mama, sejak awal aku kuliah, Papa justru bersikap seolah aku tidak ke mana-mana. Kadang telepon hanya sebulan sekali, berbicara secukupnya, seolah aku tidak rindu. Seolah Tokyo dan rumah hanya lima menit jalan kaki.
Setelah menyerahkan botol garam pada Ayumi-san, aku beralih pada boks styrofoam yang masih berada di atas meja dengan posisi terbuka. Benar saja, di dalamnya terdapat satu buah kardus berisi tiga gulungan bubble wrap yang dibungkus terpisah, tenggelam di antara kantong-kantong gel pendingin.
Sepertinya aku harus meminta maaf pada alam setelah ini, melihat banyaknya sampah yang kupunya dari satu paket kiriman.
Bunyi notifikasi aplikasi chatting dari ponsel mengurungkan niatku untuk membuka bungkusan satu per satu. Ada beberapa pesan yang belum kubuka. Beberapa dari chat personal, sisanya notifikasi grup-grup lama. Perhatianku teralih pada nama Hiroshi yang berada pada daftar teratas. Keningku mengerut. Ia mengirimiku file foto yang, saat kubuka, ternyata berisi gambar dua buah tiket taman hiburan yang ia pegang sambil ber-selfie ria.
***
Pakkeji : paket (serapan)
hmm.. kira-kira apa nih maksud Hiroshi ngirimin foto tiket taman bermain?
comment your thought!
image source : 4.bp.blogspot.com
![](https://img.wattpad.com/cover/251920166-288-k412079.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Hana ga Saku Toki [When the Flowers Bloom]
RomanceMenjadi fotografer andal adalah impiannya, tapi menjalin kerjasama dengan band metal dan menyelami dunia kelam industri rock Jepang sama sekali tidak ada dalam daftar keinginannya. Alina Citra, terbang ke Jepang untuk menjalani magangnya sebagai mah...