1. Moderu

6 0 0
                                    




"Rin-chan, kore kudasai."(1)

Meninggalkan pekerjaanku sejenak, kuhampiri sosok perempuan yang masih menungguku dengan setumpuk berkas di tangannya.

"Nandesu ka?"(2) ia melihatku sejenak, ia kemudian menyerahkan berkas itu kepadaku. Ada beberapa puluh lembar kertas yang dipisah menjadi tiga bagian dengan klip kertas. Bagian depannya dilapisi kertas tebal dengan logo sebuah agensi yang cukup terkenal tercetak di atasnya.

"Kore tte—"(3)

"—Ah! Ano Ossan, mada kitenai yo ne?"(4)

"Mada nan dake—,"(5)

"Ja, kore sugi no purojekuto.(6) Nanti tolong sampaikan, ya. Sementara lihat-lihat dulu, nanti Ji-ji akan menjelaskan sisanya."

"Hai.."(7) seperti cara bicaranya, Yuriko-san datang dan pergi dengan cepat. Dalam hitungan detik, perempuan kepala tiga itu telah meninggalkan ruangan yang kini hanya diisi olehku seorang.

"Oh, iya, Rin-chan!" belum sempat berbalik, Yuriko-san sudah kembali menampakkan kepalanya dari balik pintu kaca.

"Kalau Baka-jiji mencariku, bilang aku ada meeting di luar, ya. Aku pergi dengan Hiroshi. Sore ja.(8)" Tanpa menunggu jawaban dariku, perempuan bermarga Sato itu sudah lebih dulu menghilang dari ruangan.

Aku terdiam sejenak, menggeleng heran melihat tingkah unik seniorku itu. Perhatianku kemudian beralih pada berkas yang ada di tanganku. Kuamati sampul ketiganya sebelum kemudian membawanya ke meja kerja sembari membukanya satu persatu.

Tidak sebanyak yang kukira, rupanya. Masing-masing jilidnya hanya terdiri dari tujuh sampai duabelas halaman, termasuk cover depan. Dari penampakannya, ketiga berkas yang kupegang nampak berasal dari agensi permodelan. Dua di antaranya dari agensi yang sama.

Bundle pertama berisi profil seorang model laki-laki berambut emo, nampak kurang familiar. Namanya pun baru kulihat pertama kali.

Dari halaman pertama, aku bisa melihat profil singkat yang tertulis rapi di bawah foto. Kelahiran Sapporo, perfektur Hokkaido. Usianya masih 20 tahun, masih banyak kesempatan untuk bersinar di industri ini. Aku jadi membayangkan bagaimana perjalannya dari kota yang begitu jauh hingga bisa sampai di Tokyo. Mungkin ia hanya lahir di Hokkaido, kemudian dibesarkan di Tokyo. Mungkin pindah tempat tinggal karena dinas kerja orang tuanya. Mungkin ia lahir di keluarga kaya yang memiliki relasi dengan agensi permodelan.

Atau, mungkin juga ia hanyalah bocah ingusan dengan mimpi besar, yang nekat mengambil langkahnya sendiri dengan merantau di Tokyo.

Halaman berikutnya memuat foto-foto yang diambil dengan berbagai pose dan tema yang berbeda. Formal, kasual, sportif, retro.. Mataku terpaku beberapa saat ketika membuka lembar terakhir. Tak seperti gambar-gambar yang diambil sebelumnya, kali ini temanya begitu kontras. Di tanganku, nampak figur seorang pemuda dalam balutan hakama modifikasi berwarna hitam dan bawahan abu-abu muda. Kedua tangannya sejajar di depan dada, bergerak mengeluarkan sembilah pedang dari sarungnya, sedang matanya menatap tajam ke arah kamera.

Sebagai orang yang sedikit-banyak mendalami dunia permodelan, aku tahu ia sama sekali bukan seorang amatiran. Ia mungkin pemula yang belum lama terjun di industri ini, tapi, ekspresi yang ditampilkannya tidak bisa membohongi siapapun. Bahkan awam sekalipun.

Dalam bingkai gambar, ia menampakkan ekspresi yang nyata. Bola matanya yang hitam legam lurus menghadap kamera, nyalang. Ditambah dengan sentuhan make up dan beberapa luka buatan; lebam dan darah di ujung bibir, menambah kesan 'berbahaya'. Ekspresi yang ditampilkannya bukan hanya ketegasan, tapi juga 'ancaman'.

Hana ga Saku Toki [When the Flowers Bloom]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang