6. Onegai

1 0 0
                                    



"Dou ka?"

Takahashi-san masih terdiam mengamati layar monitor yang saat ini tengah memperlihatkan hasil foto yang kuambil tempo hari, menjajal kembali teknik yang gagal kukuasai semester lalu. Hiroshi, yang nasibnya tak jauh berbeda denganku, pun hanya diam melihat pamannya menggeser kursor ke kanan-kiri sambil memperbesar gambar berulang kali. Tangannya bersidekap, menunggu tanggapan.

"Bagian ini," jarinya menunjuk layar bawah pada gambar aspal jalanan. "Sebenarnya bisa diedit dengan halus kalau kau mengambil foto raw." Aku mengangguk. Memang kesalahanku karena lupa mengubah pengaturan. Malam setelah pulang dari taman bermain, entah apa yang merasukiku untuk berhenti sejenak dan menjajal teknik fotografi malam hari.

"Aku bisa saja memberimu beberapa pendapat, tapi kurasa aku bukan orang yang tepat." Laki-laki itu mengedarkan pandangannya ke seisi kantor, lantas berteriak keras ketika orang yang ia cari tertangkap matanya.

"Jay-Cub-kun!" yang dipanggil rupanya baru datang dari pantri. Satu tangannya memegang cangkir kopi hitam yang masih mengepul, berjalan menuju meja kami. Entah hanya aku saja, atau mengumpulkan empat orang untuk menganalisa satu foto di layar yang sama memang agak.. berlebihan. Dihimpit tiga laki-laki jakun begini, tubuhku seakan-akan menciut.

Tak memakan waktu lama, Jacob menoleh ke arahku. "Punyamu?" yang kemudian kubalas dengan anggukan. Ia berjalan memutar menuju mejanya yang berada tepat di seberangku, lantas kembali membawa flashdisk merah tanpa penutup. Tangannya dengan cepat menancapkan ujungnya dan membuka salah satu foto. Kini, layar berganti menampilkan foto jalan layang dengan atmosfer gelap. Di atasnya, terdapat cahaya merah menyala dan putih kekuningan yang memanjang dari ujung jalan hingga menghilang di balik percabangan. Dengan pencahayaan yang minim, foto ini tetap menghadirkan detail yang memukau. Atmosfer gelap yang ditakuti oleh banyak fotografer karena penuh risiko, dimanfaatkan untuk memberikan kontras yang baik hingga memunculkan kesan 'kaya' tanpa mengabaikan detail di dalamnya.

Sungguh kontras dengan foto kabur yang kuambil sebelumnya.

"Jika jadi kau, aku akan membawa tripod." Aku yang semula mengerutkan kening kini mengangguk-angguk mendengarkan penjelasannya selanjutnya. Ia menjelaskan secara singkat mengenai pentingnya kestabilan ketika mengambil gambar dengan teknik yang kugunakan, terlebih dalam pencahayaan minim di malam hari.

Satu hal yang selalu kusukai dari Jacob, ia tidak pernah bertele-tele dalam menjelaskan. Walau suka bercanda dan terlihat tak serius, ia selalu mengatakan poin-poin penting dalam percakapan dengan ringkas mudah dipahami. Ia menjelaskan kekurangan dalam teknik yang kugunakan dengan memberikan perbandingan, membuatku lebih cepat mengerti.

"... menggunakan bulb memang sedikit tricky, tapi selalu ada teknik untuk menguasainya."

Ia kemudian menunjukkan foto lain yang tampak familiar dengan replika gunung api besar dan bangunan besar bak kastil dari negeri dongeng. Kemegahan yang terpantul dalam bayangan air. Tempat itu, taman bermain yang tempo hari kukunjungi dengan Hiroshi.

"Momen bisa datang dalam waktu bervariasi. Beberapa hilang dalam sekejap, beberapa bertahan untuk waktu yang sangat lama. Dan untuk yang satu ini, aku bisa saja membuka lensa untuk waktu yang lama. Tapi bagaimana cara mengatur agar gambar tetap terambil dengan stabil?" aku menatapnya beberapa detik sebelum memberikan anggukan sebagai jawaban pertanyaan retorisnya. Sekarang aku mengerti mengapa ia menyarankanku menggunakan tripod alih-alih menggunakan tangan kosong.

"See? Nice, and smooth." Dan aku tidak bisa untuk tidak setuju. Sampai satu pertanyaan melintas dalam kepalaku.

"Bagaimana jika tempatnya tidak memungkinkan? Misalnya," aku memutar otak, mengingat-ingat kembali materi yang kudapatkan sekitar semester tiga atau empat kemarin. "Stage Photography?" Jacob menoleh pada Takahashi-san yang kini duduk bersandar dengan kaki bersilang di atas meja. Ia mengayun-ayunkan tangannya, meminta Jacob untuk menjelaskannya sendiri. Dari tempat dudukku yang kini dipakainya, Jacob hanya menghela napas pasrah.

Hana ga Saku Toki [When the Flowers Bloom]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang